Tanggal 28 Agustus 2018.
Seandainya masih hidup, Mama akan berusia 63 tahun.
Mama saya bukan orang tua sempurna. Malah ada beberapa orang
yang melabelinya jahat. Jahat dalam hal apa juga saya nggak ngerti. Pelabelan itu
sesungguhnya bikin saya terkikik. Mama saya jahat itu sama mustahilnya dengan
sapi bertelur. Tegas, iya. Melindungi hak-haknya dan hak anaknya, iya. Cerewet,
iya (just like thousands other mother on earth). Memiliki kekurangan, iya (hey!
She’s a human being!)
Tapi jahat? Ayolah... jangan becanda.
Di mata saya, Mama adalah orang yang sangat memperhatikan
anaknya. Percaya nggak, bahkan sampai lulus SMK nggak pernah sekalipun saya
dibolehkan nyuci seragam sendiri. Semua pakaian yang saya pakai, selalu diambil
dari lemari, terlipat rapi jali sampai ke garis-garis halus bekas lipatan
setrika. Kalau ingat ini, bikin malu sendiri. Karena saya adalah ibu yang lebih
praktis. Bukan baju baru untuk mejeng ke emol? Maka cuci-kering-pakai aja!
Kata teman saya, perlakuan Mama itu salah. Seharusnya Mama memberi saya kesempatan untuk mandiri. Saya tahu pendapat itu benar. Tapi the hell with it! Bagi saya, Mama tetap yang nomer satu. Saya nggak akan mau tempatnya digantikan oleh Mary Poppin atau Nanny McPhee sekalipun.
Kata teman saya, perlakuan Mama itu salah. Seharusnya Mama memberi saya kesempatan untuk mandiri. Saya tahu pendapat itu benar. Tapi the hell with it! Bagi saya, Mama tetap yang nomer satu. Saya nggak akan mau tempatnya digantikan oleh Mary Poppin atau Nanny McPhee sekalipun.
Mama adalah satu-satunya sosok
Ibu yang saya miliki – terlepas dari apakah beliau pernah mengandung saya atau
nggak.
Sampai hari ini, perasaan kehilangan itu masih merongrong.
Mungkin nggak di saat saya lagi sibuk, tapi di jam-jam sendiri, di malam-malam
setelah Pimon tidur, rasanya ada monster yang menggeliat ingin keluar dari
dada.
Waktu memang membuat segalanya terasa lebih baik. Dulu, di
awal-awal masa saya kehilangan Mama, efeknya jauh lebih parah.
Setiap kali saya berbelanja ke pasar, ke tempat para penjual
langganan Mama berdagang, saya berpikir “bagaimana bisa, orang ini, yang berusia
lebih tua dari Mama, masih ada di sini. Dengan ceria dan senyum yang nyata
melayani pembeli-pembelinya. Sementara Mama saya, yang biasa menjadi salah satu
pembeli yang mengantri, malah dipanggil lebih dulu. Tahukah orang ini bahwa
pembeli setianya sudah nggak ada lagi di dunia? Apa orang ini merasa ada yang
hilang? Apa dia bahkan sadar bahwa Mama adalah salah satu langganan yang selalu
mendatangi lapaknya?”
Atau saat bertemu dengan teman Mama yang
oh-selalu-sok-penting. Yang nggak pernah melepas sandal saat bertamu ke rumah
kami, “Kenapa orang nyebelin ini masih hidup? Mamaku jauh lebih
baik. Kenapa Mama yang dipanggil? Kenapa bukan orang ini yang mati?”
Pertanyaan “kenapa Mama” itu mengiang-ngiang,
berputar-putar, menghantui kepala saya selama beberapa lama. Semakin berkurang
seiring berjalannya waktu, tapi nggak benar-benar menghilang.
Silly me.
****
Bukan sekali dua kali saya berharap Mama bertemu dengan Pimon. Saat saya melihat foto diri saya bersama ibu mertua dan Pimon, saya berharap Mama-lah yang ada di sana. Melengkapi foto itu agar menjadi foto 3 generasi. Seperti yang dilakukan orang-orang lain.
Bukan sekali dua kali saya berharap Mama bertemu dengan Pimon. Saat saya melihat foto diri saya bersama ibu mertua dan Pimon, saya berharap Mama-lah yang ada di sana. Melengkapi foto itu agar menjadi foto 3 generasi. Seperti yang dilakukan orang-orang lain.
****
There's an old pict of me when I was 5. When everything was
perfect, and nothing has been taken away from me. When I still had both of them
in my life.
When life was still... life.