Mbah To.
Begitu kami mengenalnya.
Begitu kami mengenalnya.
Laki-laki bertubuh kecil, tuna wicara, dan berjalan dengan
menyeret salah satu kaki.
Saya mengenal beliau sejak kecil. Mbah To sudah seperti
living legend di kampung tempat kami tinggal. Rasa-rasanya nggak ada yang nggak
mengenalnya. Mulai dari balita yang baru belajar berjalan, sampai aki-aki yang
berjalan dengan bantuan tongkat, semua pasti tahu siapa mbah To.
Beliau tidak menikah, menyukai bayi dan anak-anak kecil, dan
tinggal bersama saudara serta beberapa orang keponakan. Pekerjaannya serabutan.
Apapun tawaran yang diberikan orang, selama dia sanggup mengerjakan, pasti diterima.
Bapak saya pernah bercerita, bahwa mbah To kecil pernah menjadi
korban penculikan wewe gombel. Berhari-hari hilang, sampai warga sekampung
mencari sambil memukul-mukul berbagai macam peralatan dapur. Konon katanya,
saat warga sedang ramai-ramai berkelontangan dengan wajan dan panci, tiba-tiba
saja tubuh kecil mbah To terjatuh dari ketinggian pohon angker di dekat sungai
nun jauh di pelosok kampung seberang. Saya yang masih ingusan, mendengarkan
cerita itu dengan terkesima, dan membawanya hingga dewasa.
Then it turns out my whole life is a lie.
Kenyataannya, Mbah To memang sudah tuna wicara sejak lahir. Begitu
juga dengan kekurangan fisiknya yang lain. Sudah ada sejak beliau dilahirkan ke
dunia. Mungkin saat itu bapak sengaja mengarang-ngarang cerita agar saya
menjadi anak yang anteng duduk di rumah dan menjauhi sungai yang berbahaya. Perkara
apakah memang benar ada mamak-mamak raksasa dengan ukuran bra segede sprei
spring bed king size yang doyan mungut anak-anak kecil yang kelayapan sampai
maghrib, saya masih belum bisa memastikan.
Tapi mbah To rupanya menciptakan kegemparan lain
bertahun-tahun lalu.
Sekali lagi, beliau menghilang selama berhari-hari, setelah
berpamitan pada keluarga akan pergi memancing di sungai Bango, sungai yang
jembatannya menghubungkan daerah Bunul dan Sawojajar itu. Tapi kali ini, beliau
benar-benar menghilang tanpa bekas. Bukan hanya sekedar rumor untuk
menakut-nakuti anak-anak. (Lagipula, ancaman nggak akan dibelikan paket
internet rupanya lebih manjur untuk membuat anak-anak jaman sekarang menjadi
patuh ketimbang peringatan soal wewe.gombel.co.id, bukan begitu?)
Satu kampung kembali heboh dibuatnya. Kali ini sampai
melibatkan paranormal.
Entah bagaimana keseluruhan ceritanya (karena saya baru
mendengar soal ini setelah lewat beberapa tahun dan bukan saat kejadiannya
berlangsung), mbah To kemudian muncul kembali di tempat dia biasa menunggu kail,
seminggu sejak pertama kali dinyatakan hilang. Beliau bercerita – dengan cara
komunikasinya yang terbatas – bahwa sesosok makhluk halus telah mengajaknya ke
alam lain untuk dinikahi, dan melarangnya kembali ke dunia nyata.
Begitulah yang saya dengar. Wallahua’lam.
Untung saja, setelah peristiwa itu nggak ada lagi hal-hal
aneh yang menggemparkan hidupnya yang damai. Mbah To kembali pada rutinitasnya
seperti biasa.
Saat ada kegiatan kerja bakti, mbah To pasti selalu hadir.
Saat masjid membutuhkan bantuan untuk melangsungkan acara,
mbah To selalu siap.
Saat ada rombongan pengantar jenasah, mbah To selalu ada di
barisan terdepan untuk membuka jalan.
Saat ada orang yang membutuhkan jasanya untuk membuang
barang-barang bekas/bongkaran, mbah To dengan semangat datang bersama gerobak
tua yang disewanya seharga lima ribu rupiah.
Dan saat adzan berkumandang, mbah To dengan sigap segera menyeret
sepasang kakinya yang timpang ke arah masjid, di awal waktu.
Suatu kali, seseorang pernah memberikan kepada mbah To
sebuah handphone yang nggak lagi berfungsi. Sejak itu, mbah To akan sering terlihat
berjalan ke sana kemari sembari menempelkan handphone mati itu di telinganya
dengan mimik wajah serius, seolah sedang berbincang dengan rekanannya mengenai
suatu tender proyek besar.
Orang-orang menggoda mbah To. Anak-anak kecil antara berlari
ketakutan atau malah berlari mendekat untuk bermain dengannya. Beberapa pemuda
terkadang juga menjadikannya bahan lelucon. Tapi mbah To selalu tertawa riang
sebagai jawaban. Menertawai diri masih
lebih menyenangkan ketimbang merutuki nasib, mungkin begitu keyakinan hatinya.
Bagi saya sendiri, mbah To adalah perlambang orang yang
telah lama menyadari bahwa dunia ini hanyalah urusan singkat saja. Selama masih
ada rejeki untuk melewati hari, maka tak ada risau di hati. Mungkin beliau pun
pernah berangan-angan memiliki keluarganya sendiri. Tapi kalaupun tak ada, maka
tak jadi soal. Bukankah anak istri memang nggak akan menemani mati?
Orang harus hidup dengan mempertahankan apa yang dimiliki.
Bahkan sekalipun yang tersisa hanya iman di hati, maka itulah yang harus
diperjuangkan. Bisa jadi, itulah yang memberi kekuatan bagi kaki-kaki mbah To
yang pincang untuk selalu ringan melangkah menuju masjid kapanpun adzan
terdengar.
Memenuhi panggilan Rabbnya, yang tidak pernah meninggalkan
dia sendiri di dunia.