Entri yang Diunggulkan

Jumat, 08 Desember 2017

PARALAYANG : ANTARA NYALI DAN RASAN-RASAN



Long weekend lalu, suami saya ambil cuti dua hari untuk nambahin liburan. Dan kami sekeluarga pun berencana untuk nyobain cafe Daun Coklat di kawasan Coban Rondo, Pujon - Kab. Malang.

Coban Rondo adalah kawasan wisata favorit yang udah lama banget buka dari jaman baheula. Tapi saya sendiri baru sekali ke sana sekitar 10 tahun yang lalu, saat ada rekan kerja dari Vietnam yang dikirim ke kantor Indonesia. Saya dan beberapa teman lain kemudian disuruh nemenin doi jalan-jalan di seputaran kota Batu. Saat itu Coban Rondo cuma menawarkan wisata air terjun aja dan bumi perkemahan. Selepas hari itu, saya belum mendatangi tempat wisata ini lagi.

Beberapa tahun belakangan, saat hampir semua tempat wisata di sekitaran Malang raya berbenah dan mempercantik diri (utamanya karena muncul fenomena selfie), Coban Rondo juga nggak mau ketinggalan. Salah dua suguhan baru yang ada di sana yaitu taman labirin dan cafe Daun Coklat. Iseng-iseng menjelang long weekend kemarin saya googling. Dari review Google, saya jadi tahu bahwa cafe Daun Coklat ini tempatnya adem, harga makanannya relatif murah, dan ada spot-spot berfoto yang bagus. Itulah kenapa kami jadi penasaran pengen nyoba ke sana. 

Dari Google juga saya tahu bahwa untuk masuk ke cafe Daun Coklat, kami harus bayar tiket masuk Coban Rondo dulu karena lokasinya yang ada di dalam area si tempat wisata. Ah nggak apa-apalah, pikir kami. Kan tiket masuk coban juga nggak mahal-mahal amat. Saya intip di : http://www.hargatiketmasuk.info/malang/harga-tiket-masuk-coban-rondo/ tertulis harga tiket masuknya cuma  15 ribuan di weekday, dan 18 ribuan di weekend. Sementara dari review Google saya tahu untuk masuk ke cafe Daun Coklat, per orang akan ditarik lagi Rp 2.500 aja, di luar harga makanan yang dipesan. Dari blog di atas juga saya baca-baca harga tiket lain yang harus dibayar kalau mau masuk ke wahana berbeda seperti taman labirin, taman toga, atau memberi makan rusa. 

https://www.tempat.co.id/wisata/Air-Terjun-Coban-Rondo

http://www.dakatour.com/rute-dan-lokasi-daun-coklat-malang-cafe-hits-dengan-nama-alias-dancok-suguhkan-nuansa-alam.html

Singkatnya, jeng-jeng-jeng.... setelah motoran dari Bunul-Malang ke Pujon, sampailah kami di depan gerbang masuk Coban Rondo. Ada seorang bapak petugas yang menyambut kami. Saat suami tanya berapa yang harus dia bayar, bapak tersebut bilang "Tiga puluh Mas. Eh maaf. Tujuh puluh enam Mas" 

Ebuseetttt!!!!!
Tujuh-puluh-enam-ribu paaaakkk??? 
(komat-kamit istighfar dalam hati) 

"Iya Mas. Tiket terusan" jawab si bapak sembari menunjukkan harga yang tertera di kaca loket. 
Di sana ada sebuah kertas pengumuman yang bertuliskan harga tiket (terusan) baru sebesar Rp 35.000 untuk wisatawan nusantara di weekday, dan entah berapa nggak kebaca untuk weekend-nya karena udah keburu syok. (By the way, kami ke sana di hari senin jadi seharusnya total tiket yang harus dibayar cuma Rp 70.000 aja untuk dua orang kalau mengacu tulisan di kaca loket. Mungkin yang Rp 6.000 sisanya buat parkir? Mungkin looooo....)
 
Mendengar si bapak yang di awal salah menyebut harga tiga puluh ribu, sepertinya harga tiket terusan ini emang baru aja diberlakukan. Tapi entah tepatnya mulai kapan.

"Kalau tiket yang nggak terusan nggak ada pak?" tanya saya.
"Nggak ada mbak" jawab si bapak lagi. 

Bisa diduga apa yang terjadi selanjutnya. Tentu aja kami balik kanan, beib. 

Menurut saya nih ya. Boleh-boleh aja si Coban bikin tiket terusan. Kan emang wahana yang ditawarkan di dalam ada banyak. Dan jatuhnya emang lebih murah kalau pakai tiket terusan. Taaapiiiii.... alangkah baiknya kalau customer diberikan pilihan. Jangan dipukul rata semua kudu beli tiket terusan. Tiket reguler juga harus tetep tersedia. Ya kan kali-kali aja ada pengunjung cekak duit kayak saya yang pengen masuk cuma buat ngelamun di bawah air terjun. Buat apa saya 'dipaksa' bayar mahal-mahal kalau nggak tertarik masuk ke spot yang lain? Mbok yo ojo sok jual mahal gitu lah... ntar selamanya jadi Rondo lo. Gak payu-payu, trus piye?

Karena kami udah jauh-jauh sampai ke Pujon, sayang kalau langsung balik ke Malang. Akhirnya kami pergi aja ke spot Paralayang. Sebenernya sih suami saya yang suka ke sini. Maklum, orang dataran rendah. Kalau bisa lihat panorama gunung girang banget dia. Anak saya juga suka sih ada di sini. Nggak tahu juga kenapa. Padahal dari orok juga udah jadi anak gunung. Dan di paralayang ini kan sebenernya nggak ada spot buat anak-anak. Kecuali kalau bablas masuk ke Taman langit. 

(Kalau saya sih cuma suka di sini karena toiletnya bersih aja. Nggak risih kalau mau pipis. Tapi perkara harga makanan jangan ditanya deh. Khas tempat wisata. Buat yang banyak duit sih mungkin biasa aja bayar pop mie 10ribu dan teh anget 5ribu. Kalau kata orang bijak, murah mahal itu relaaaa...?? tiiiiffff...) 

Kebetulan saat kami ke sana, ada beberapa pengunjung yang nyoba tandem paralayang, dan
beberapa atlet yang lagi latihan. Lumayan seru ada tontonan. Apalagi kemarin ada salah satu atlet yang sampai 2 kali gagal terbang. Entah karena parasutnya kurang dapet angin atau alasan teknis lain. Bahkan di percobaan ke tiga, para penonton dibikin deg-degan (bahkan salah satu ibu-ibu ada yang sampai memekik ketakutan) karena saat masnya udah lompat, parasutnya seakan nggak dapat angin dan hampir terjun bebas ke jurang. Untung dia berhasil ngendalikan lagi beberapa detik setelahnya. Slameeettt.... semua orang pun ngelus dada dan bernapas lega. 





Dan seperti yang bisa saya harapkan (kalau yang seperti ini bisa disebut faktor hiburan juga sih), para penonton yang berkerumun di sekitar lokasi take off itu suka banget rasan-rasan dan berkomentar sok tahu tentang ini itu. 

Beberapa waktu lalu saya pernah nulis di akun facebook juga soal ini bahwa hidup itu seperti main paralayang. Saat kamu memutuskan untuk melangkah, akan selalu ada suara-suara sumbang yang mengomentari keputusanmu. Sama seperti main paralayang. 

Orang yang berani tandem adalah orang-orang yang nggak takut ketinggian, pemberani, dan mau bayar mahal untuk itu. In short, they take all the risks. Tapi coba perhatikan. Di sekitar landasan take off, pasti akan selalu ada penonton yang mengolok-olok. 

"mbak, ati-ati ojo ngompol ndek nduwur (mbak, hati-hati jangan ngompol di atas)" 
"iku asline ndek nduwur bengok-bengok keweden (itu aslinya di atas jejeritan ketakutan)"
"awas mbak, wedak'e luntur kenek angin (awas mbak, bedaknya luntur kena angin)" 
dan olok-olok lain yang dikatakan dengan gaya ngece.

Padahal itu orang-orang yang komen bisa apa sih? Disuruh tandem paralayang pun paling lututnya tremor dan nangis nyari ketek mamaknya. Bisa nonton doank aja udah sok ngece-ngece yang pemberani. Dia nggak tahu, saat dirinya sibuk ngejekin kanan kiri, yang diejekin udah melayang tinggi di langit, di tempat yang bahkan ejekan itu nggak bakalan bisa ngejangkau. Kedengaran familiar kan? 

Mending kayak saya donk. Jelas nggak punya duit dan jelas nggak berani ketinggian. Jadi duduk anteng aja sambil foto-foto dengan terpesona. 

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar