Entri yang Diunggulkan

Selasa, 26 Desember 2017

MBAH TO



Mbah To.
Begitu kami mengenalnya.

Laki-laki bertubuh kecil, tuna wicara, dan berjalan dengan menyeret salah satu kaki.
Saya mengenal beliau sejak kecil. Mbah To sudah seperti living legend di kampung tempat kami tinggal. Rasa-rasanya nggak ada yang nggak mengenalnya. Mulai dari balita yang baru belajar berjalan, sampai aki-aki yang berjalan dengan bantuan tongkat, semua pasti tahu siapa mbah To.

Beliau tidak menikah, menyukai bayi dan anak-anak kecil, dan tinggal bersama saudara serta beberapa orang keponakan. Pekerjaannya serabutan. Apapun tawaran yang diberikan orang, selama dia sanggup mengerjakan, pasti diterima.

Bapak saya pernah bercerita, bahwa mbah To kecil pernah menjadi korban penculikan wewe gombel. Berhari-hari hilang, sampai warga sekampung mencari sambil memukul-mukul berbagai macam peralatan dapur. Konon katanya, saat warga sedang ramai-ramai berkelontangan dengan wajan dan panci, tiba-tiba saja tubuh kecil mbah To terjatuh dari ketinggian pohon angker di dekat sungai nun jauh di pelosok kampung seberang. Saya yang masih ingusan, mendengarkan cerita itu dengan terkesima, dan membawanya hingga dewasa.

Then it turns out my whole life is a lie.
Kenyataannya, Mbah To memang sudah tuna wicara sejak lahir. Begitu juga dengan kekurangan fisiknya yang lain. Sudah ada sejak beliau dilahirkan ke dunia. Mungkin saat itu bapak sengaja mengarang-ngarang cerita agar saya menjadi anak yang anteng duduk di rumah dan menjauhi sungai yang berbahaya. Perkara apakah memang benar ada mamak-mamak raksasa dengan ukuran bra segede sprei spring bed king size yang doyan mungut anak-anak kecil yang kelayapan sampai maghrib, saya masih belum bisa memastikan.

Tapi mbah To rupanya menciptakan kegemparan lain bertahun-tahun lalu.
Sekali lagi, beliau menghilang selama berhari-hari, setelah berpamitan pada keluarga akan pergi memancing di sungai Bango, sungai yang jembatannya menghubungkan daerah Bunul dan Sawojajar itu. Tapi kali ini, beliau benar-benar menghilang tanpa bekas. Bukan hanya sekedar rumor untuk menakut-nakuti anak-anak. (Lagipula, ancaman nggak akan dibelikan paket internet rupanya lebih manjur untuk membuat anak-anak jaman sekarang menjadi patuh ketimbang peringatan soal wewe.gombel.co.id, bukan begitu?)

Satu kampung kembali heboh dibuatnya. Kali ini sampai melibatkan paranormal.
Entah bagaimana keseluruhan ceritanya (karena saya baru mendengar soal ini setelah lewat beberapa tahun dan bukan saat kejadiannya berlangsung), mbah To kemudian muncul kembali di tempat dia biasa menunggu kail, seminggu sejak pertama kali dinyatakan hilang. Beliau bercerita – dengan cara komunikasinya yang terbatas – bahwa sesosok makhluk halus telah mengajaknya ke alam lain untuk dinikahi, dan melarangnya kembali ke dunia nyata.

Begitulah yang saya dengar. Wallahua’lam.

Untung saja, setelah peristiwa itu nggak ada lagi hal-hal aneh yang menggemparkan hidupnya yang damai. Mbah To kembali pada rutinitasnya seperti biasa.

Saat ada kegiatan kerja bakti, mbah To pasti selalu hadir.
Saat masjid membutuhkan bantuan untuk melangsungkan acara, mbah To selalu siap.
Saat ada rombongan pengantar jenasah, mbah To selalu ada di barisan terdepan untuk membuka jalan.
Saat ada orang yang membutuhkan jasanya untuk membuang barang-barang bekas/bongkaran, mbah To dengan semangat datang bersama gerobak tua yang disewanya seharga lima ribu rupiah.
Dan saat adzan berkumandang, mbah To dengan sigap segera menyeret sepasang kakinya yang timpang ke arah masjid, di awal waktu.

Suatu kali, seseorang pernah memberikan kepada mbah To sebuah handphone yang nggak lagi berfungsi. Sejak itu, mbah To akan sering terlihat berjalan ke sana kemari sembari menempelkan handphone mati itu di telinganya dengan mimik wajah serius, seolah sedang berbincang dengan rekanannya mengenai suatu tender proyek besar.

Orang-orang menggoda mbah To. Anak-anak kecil antara berlari ketakutan atau malah berlari mendekat untuk bermain dengannya. Beberapa pemuda terkadang juga menjadikannya bahan lelucon. Tapi mbah To selalu tertawa riang sebagai jawaban.  Menertawai diri masih lebih menyenangkan ketimbang merutuki nasib, mungkin begitu keyakinan hatinya.

Bagi saya sendiri, mbah To adalah perlambang orang yang telah lama menyadari bahwa dunia ini hanyalah urusan singkat saja. Selama masih ada rejeki untuk melewati hari, maka tak ada risau di hati. Mungkin beliau pun pernah berangan-angan memiliki keluarganya sendiri. Tapi kalaupun tak ada, maka tak jadi soal. Bukankah anak istri memang nggak akan menemani mati?

Orang harus hidup dengan mempertahankan apa yang dimiliki. Bahkan sekalipun yang tersisa hanya iman di hati, maka itulah yang harus diperjuangkan. Bisa jadi, itulah yang memberi kekuatan bagi kaki-kaki mbah To yang pincang untuk selalu ringan melangkah menuju masjid kapanpun adzan terdengar.

Memenuhi panggilan Rabbnya, yang tidak pernah meninggalkan dia sendiri di dunia.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar