Entri yang Diunggulkan

Rabu, 15 Agustus 2018

UNTUKMU YANG INGIN JADI PENULIS


Sebagai penulis, saya keraknya amatir. Jangankan dibandingkan dengan penulis-penulis profesional yang sudah menelurkan banyak buku, dengan penulis medsos yang tulisannya dishare hingga ribuan kali pun saya cuma remah-remahnya.

Tapi sebagai pembaca, bolehlah saya menyebut diri saya sebagai pembaca novel profesional dengan belasan tahun pengalaman.

Kalau dianalogikan ke dunia kuliner, saya ini orang yang nggak bisa masak, tapi sering ngejajan di luar. Jadi sekalipun saya nggak tahu sate kambing itu dimasak pakai bumbu apa aja, tapi saya tahu sate yang enak itu seperti apa, dan milik warung mana.

Sebagai pembaca profesional, saya bisa menilai bagus nggaknya jalan cerita sebuah novel hanya dari membaca 2 lembar pertama.  Ini beneran. Beberapa buku yang punya blurb (ringkasan cerita) seru di belakang halaman tapi ternyata punya jalan cerita sampah di dalam, bisa ketahuan hanya dari cara si penulis membuka cerita.
(ngomong-ngomong, saya juga pernah ‘ketipu’ blurb. Kalau cuma buku sewaan sih nggak masalah. Tapi kalau itu novel yang dibeli sendiri, nyeselnya bisa 7 hari 7 malam. Sia-sia buang uang).

Balik ke soal kualitas tulisan.
Dari pengalaman saya selama ini sebagai pembaca, saya bisa menarik 1 kesimpulan. Bahwa seorang penulis itu lebih hebat daripada seorang aktor kawakan. Kenapa?

Seorang aktor, dalam sebuah judul film atau drama, hanya bisa memerankan 1 karakter pada satu waktu (atau 2 paling banyak). Tapi seorang penulis yang hebat mampu memainkan SELURUH karakter dalam novelnya di waktu yang BERSAMAAN.

Saat dia menuliskan dialog seorang laki-laki berusia 49 tahun yang memiliki masalah bersosialisasi karena frustrasi dengan kehidupan, maka dia benar-benar harus terbaca sebagai ‘laki-laki berusia 49 tahun yang memiliki masalah bersosialisasi karena frustrasi dengan kehidupan’.
Saat dia menuliskan dialog seorang perempuan 36 tahun yang baru bercerai dari suaminya dan harus menghidupi 2 anak yang menjelang remaja, maka dia harus benar-benar terbaca sebagai ‘seorang perempuan 36 tahun yang baru bercerai dari suaminya dan harus menghidupi 2 anak yang menjelang remaja’.

Tidak peduli apa gender si penulis.
(Dan semua ini hanya lewat kata-kata lo)

Contoh yang gagal dalam penerapan hal ini adalah seri Twilight. Cerita ini sangat terlihat ditulis oleh perempuan. Penulis menuangkan terlalu banyak sisi feminim dari dirinya dalam menggambarkan karakter. Pacar ganteng yang akan menunggui ceweknya tidur sepanjang malam tanpa melakukan ‘apa-apa’ hanya ada dalam khayalan perempuan (or he’s a gay). Di dunia normal, sebagian laki-laki pasti berharap (atau bahkan mengupayakan) terjadi ‘apa-apa’, sementara sebagian lain yang lebih baik nggak akan pernah mendatangi kamar perawan di malam buta.

Walaupun idenya cukup fresh saat buku itu terbit (banyak buku yang terbit kemudian yang ikut mengangkat tema cinta dua dunia), eksekusinya terbilang agak lame *sorry for that Ms. Meyer*. Akan lebih menarik kalau tokoh-tokoh vampirnya dibuat lebih real tanpa meninggalkan sentuhan horor. Menurut saya loh. 

Saya juga pernah baca cerpen/cerbung di mana tokoh laki-laki memanggil istri/pacar mereka dengan sebutan “gadis kecilku” atau “cinta matiku”. Pada tulisan seperti itu, saya nggak perlu repot-repot mencari tahu apakah penulisnya laki-laki atau perempuan. Karena sudah jelas perempuan. Hanya perempuan yang berharap diperlakukan seperti princess oleh pasangan, dan harapan itu tertuang dengan gamblang di tulisan mereka. Tumpah ruah. 

Meanwhile in real life, men do love.
But most of  them don’t treat you like a fragile chinese doll. Not after a long marriage,especially.

http://www.amreading.com/2016/06/08/why-you-should-read-the-cormoran-strike-series-by-robert-galbraith-a-k-a-j-k-rowling/


Kalau mau lihat contoh yang bagus, bisa dibaca tulisan-tulisan Sandra Brown atau seri detektif Cormoran Strike by Robert Galbraith a.k.a J.K Rowling. Penulisnya cewek. Tapi dia berhasil menampilkan karakter detektif laki-laki yang sesuai dengan gambaran yang diharapkan. Cormoran does have feeling, but he walks in a man’s shoes. Pria ini punya luka-lukanya sendiri, tapi menyikapinya dengan cara laki-laki. Nggak ada diary, nggak ada surat mendayu-dayu, atau tangisan melolong. Setiap aspek dirinya sesuai. Macho tapi nggak berlebihan.

Loh, emang ada yang berlebihan? Ada. Mentang-mentang tokohnya laki-laki, dikit-dikit ngomong f*ck (LOL). Penulisnya berusaha terlalu keras. Membaca tulisan seperti ini terasa seperti makan kue tart dengan buttercream yang kelewat tebal. Apa yang seharusnya bikin semakin enak, malah bikin semakin eneg.

Just bcoz he’s a man, doesn’t mean he f*ck-this-f*ck-that in every 5 minutes. Unless he’s a desperate drug dealer. Hahaha.
  
Singkat kata, tulislah sesuatu yang believable. Yang karakter tokohnya kuat dan bisa dipercaya. Bisa dibayangkan benar-benar hidup oleh pembaca, sekalipun genre-nya fiksi fantasi. Sifat dan sikap karakter harus ditampilkan sesuai dengan latar belakangnya.

Romance adalah aliran yang sering diambil oleh penulis. Tapi percayalah, genre ini bisa jadi bumerang kalau nggak dieksekusi dengan baik. Cerita cinta sangat mudah dilupakan. Kecuali yang mengangkat tema tidak biasa (contoh : tema poligami di Ayat-ayat Cinta). Menulis genre romance yang stands out itu nggak cukup hanya dengan mengandalkan kalimat-kalimat cheesy dan termehek-mehek.

Well, mungkin modal itu akan cukup untuk membuat orang terharu setelah menutup halaman terakhir.

Tapi untuk membuat kisah itu tetap tertancap di kepala hingga berhari, berbulan, atau bertahun kemudian?
Itu lain soal.

A good book keeps you awake till 3 a.m. But a bad one will send you to bed in no time.

Selasa, 14 Agustus 2018

CERBUNG : AURORA (PART 1)

AURORA
(PART 1)
.

“Ren. Dengerin dulu donk. Jangan keburu...”

BRAAKK!!

Tempat sampah plastik yang biasa teronggok di sudut ruangan melayang menghantam tembok, hanya berjarak sesenti dari kepalaku. Tapi rupanya Rena belum puas. Dia kembali meraih barang lain yang ada dalam jangkauan tangannya sebagai sarana mengantarkan amarah.

“Aku nggak mau denger! Pergi! Pokoknya pergi!”

“Loh tapi salahku di mana? Kan kamu tadi yang minta…”

BLETAAKKK!!

Kali ini asbak kaca seukuran telapak tangan yang cukup berat terbang melintasi ruangan. Karena Rena melempar sembarangan dengan menutup mata, benda itu tidak mengenaiku. Tapi mendarat tepat di kepala Bobo, kucing peliharaannya yang selalu mendesis setiap kali kudekati. Binatang itu mengeluarkan dengkingan tertahan sebelum berlari secepat kilat, menyelamatkan diri dari kemungkinan gegar otak yang lebih besar. Aku meringis membayangkan sakitnya, tapi tidak merasa kasihan. Sebagian karena kucing jelek itu selalu berusaha mencakarku setiap ada kesempatan, dan alasan lainnya karena saat ini aku punya masalahku sendiri untuk kupikirkan.

“Kamu yang minta sendiri. Kamu yang bilang kamu bisa nerima aku apa adanya. Kok malah jadi ngamuk gini?” tanyaku frustasi, mengatasi jeritan-jeritan Rena yang pasti sanggup membuat telinga kelelawar berdarah-darah.

Sempat terpikir olehku kemungkinan cewek ini mendadak gila karena kebanyakan minum… entah apa. Air aki mungkin?

“Iya tapi bukan gini! Pergi kamu! Aku nggak mau lihat kamu lagi! Pokoknya pergiiiiiii!!!!”

Di antara keputus asaan untuk segera mengusirku dari hadapannya, Rena meraih bantal sofa. Ya, bantal sofa. Jadi setelah tempat sampah dan asbak yang keras gagal melaksanakan tugas, Rena berpikir bantal empuk akan bisa memberikan hasil yang lebih baik. Aku memutar bola mata.

“Jangan datang lagi ke sini! Awas kalau kamu masih berani muncul!”

BLUFFF!

Seperti yang bisa diduga, bukannya menggunakan bantal itu untuk mendekap hidungku agar mati kehabisan napas, Rena malah kembali melemparnya. Seolah pelengkap sofa itu akan mampu menyakitiku jauh lebih baik daripada asbak. Bukan maksudku untuk mengajari cara tercepat untuk menghabisi nyawa seseorang lo, tapi ayolah, bahkan cewek yang sedang menstruasi pun seharusnya masih punya akal sehat kan?

Apalagi kalau dia sudah berpacaran denganku selama beberapa waktu dan tahu bahwa melempariku dengan barang-barang tidak akan memberi efek apa-apa. Kalaupun Rena bisa membidik dengan benar, benda-benda itu hanya akan melayang menembus tubuhku.

Ya, menembus tubuhku.
.
.
.
Karena aku sudah mati.

****

Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu apakah aku benar-benar pernah hidup. Memang benar ada semacam kenangan berkabut dalam pikiranku tentang kehidupan. Seperti contohnya, aku yakin namaku Roni. Bukan Agus, Mamat atau Toyib. Tapi Roni.

Ada sesuatu dalam kenangan itu yang mengatakan bahwa aku tercerabut dari kehidupan manusia di usia yang masih muda. Aku pernah punya pekerjaan. Staf teknik sipil di sebuah pengembang perumahan yang bertugas sebagai pengawas lapangan. Sampai seorang pengemudi eskavator kehilangan kontrol dan menabrakku yang sedang berjalan menuju kantin di jam makan siang. Perutku berbunyi cukup keras karena lapar saat belalai raksasa eskavator brengsek itu menghantam tempurung kepalaku hingga remuk, membuyarkan angan-angan akan nasi rendang yang lezat.

Jadi disinilah aku sekarang. Di dunia yang sama sekali berbeda, di mana aneka sajian warung nasi Padang mustahil untuk dinikmati.

Atau setidaknya, begitulah yang kuyakini.

Sudah kubilang kan kenangan itu berkabut. Seperti sesuatu yang samar-samar tersembunyi di sudut kepala. Aku cukup yakin memang itulah yang terjadi walau tidak merasakan kelekatan emosional dengan gambarannya. Seperti melihat diriku sendiri bermain di sebuah film, tapi tidak pernah ingat kapan aku pernah melakukan pengambilan gambar. Mengerti kan?

“Ngapain bengong di sini?”

Suara serak yang mirip kucing terjerat tali jemuran membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihat sosok berwarna putih dari ujung kepala hingga ujung kaki berdiri tidak jauh, di ujung atap yang saat ini menjadi tempatku melipur lara. Sosok itu melompat-lompat mendekat, dan di lompatannya yang terakhir dia berhasil duduk di sisiku. Ujung kakinya yang terbungkus rapat oleh kain putih terjulur di susunan genteng yang landai.

“Nggak ngapa-ngapain”

“Habis diputusin ya?”

“Sok tahu” jawabku ketus.

“Si Rena teriak-teriak kayak orang kesurupan. Semua demit dari sini sampai radius 70 kilometer juga pasti pada denger”

Sosok putih yang suka mencampuri urusan orang ini adalah pocong. Tidak sepertiku yang merupakan sisa jiwa yang tertinggal dari sebuah kehidupan, dia dan beberapa jenis hantu yang lain tercipta begitu saja. Menurut pengakuannya, dia sudah berada di tempat ini sejak bumi masih muda. Telah melihat pergantian dunia selama ribuan tahun, dan masih belum kehilangan minat untuk menakut-nakuti manusia. Tentang kenapa dia berwujud seperti jenazah yang siap dikebumikan, tidak ada yang tahu. Toh Alex tidak pernah memusingkan hal itu. Menurutnya bisa menakuti manusia adalah kegiatan sampingan yang menyenangkan, jadi dia tidak merasa perlu memikirkan soal penciptaan dirinya sendiri.

Alex?

Ya, itu nama si pocong. Dia yang memilih. Begitulah sisi positif dari menjadi hantu yang tercipta dari kekosongan. Aku, karena tahu – atau merasa – bahwa namaku saat hidup adalah Roni, maka tidak ada alasan untuk mengganti nama panggilan. Tapi dia bisa mengambil nama apapun sesukanya sesuai trend dunia. Konon dia sudah mencoba segala macam nama sejak jaman batu. Alex adalah nama terakhir yang saat ini disandangnya. Supaya lebih terdengar milenial katanya.

Aku hanya mengangkat bahu saat Alex pertama kali menjelaskan soal ini. Konsep yang aneh, tapi aku tidak keberatan. Hantu berjenis pocong ada di mana-mana. Sama seperti kuntilanak dan genderuwo. Tidak memiliki nama panggilan hanya akan membingungkan. Tahu maksudku kan? Berusaha mengenali satu pocong dari pocong lainnya bukanlah hal mudah. Mereka semua persis permen vanila yang dibungkus daun jagung. Tanpa penanda, tanpa ciri khas. Lagipula Alex tidak suka dipanggil dengan nama yang diasosiasikan pada lokasinya bergentayangan. Panggilan ‘Alex’ terdengar jauh lebih praktis dan enak didengar ketimbang sebutan ‘Pocong-Jamban-Mampet-Rumah-Tua-Jalan-Anggrek-RT-5’.

“Malah diem. Ayo ngaku si Rena habis diapain?” rongrongnya, berusaha mengorek bahan gosip.

Aku merasa masalahku dan Rena akan segera menjadi perbincangan hangat di antara komunitas dedemit esok pagi.

“Nggak ada apa-apa. Dia sendiri yang tiba-tiba histeris”

Rena adalah seorang manusia dengan mata yang tidak biasa. Dia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan manusia lain. Dan di antara yang bisa dilihatnya adalah aku.

Rumah yang saat ini atapnya sedang kududuki adalah salah satu di antara ratusan rumah yang dibangun oleh pengembang tempatku bekerja dulu. Jalanan di depan sana adalah lokasi di mana aku menghembuskan napas terakhir. Aku bertemu Rena di tempat ini, saat dia baru datang untuk pindah ke rumah baru yang dibanggakannya. Sebagai orang yang terbiasa melihat hal-hal gaib, Rena tidak terlalu terkejut ketika pertama kali melihatku. Singkat cerita, kami berteman. Dan pertemanan berlanjut menjadi hubungan lain yang lebih intim.

Oke, aku tahu ini terdengar konyol. Tapi Rena adalah penggemar berat novel yang bercerita tentang kisah cinta antara manusia dan vampir vegetarian yang berkilauan. Oh, aku pernah bertemu dengan vampir ngomong-ngomong. Pendatang dari Bulgaria. Dan bisa kupastikan dia tidak suka dengan penggambaran kaum mereka di novel itu. Katanya dia tidak bisa membayangkan harus berciuman dengan manusia tanpa tergoda untuwk mencicipi darahnya. Itu seperti manusia yang berusaha berciuman dengan telur dadar. Lagipula vampir tidak berkilauan. Bahkan kalau melihat tampilan teman vampirku itu, aku ragu akan ada cewek waras yang mau menjadi pacarnya. Maksudku, dia itu bau. Tahu sendiri bagaimana kebiasaan orang Eropa di masa kegelapan kan? Mereka menganggap mandi adalah hal tabu. Jadi kalau semasa hidup mereka bahkan tidak suka mandi, bagaimana menurutmu bau mereka setelah mati dan gentayangan?

Meski begitu, romansa dalam buku itu telah mempengaruhi penilaian Rena tentang hubungan antara manusia dan hantu. Menurutnya, kisah cinta dua dunia seperti itu sangat romantis (ingatkan aku untuk menampakkan diri di hadapan kakakku agar bisa memberinya peringatan mengenai imajinasi remaja jaman sekarang. Aku tidak mau didatangi oleh hantu muka rata yang meminta restu untuk memacari keponakanku yang beranjak remaja). Aku menganggap niatan Rena hanya lelucon pada awalnya, tapi tidak bisa berbohong pada diriku sendiri. Keberadaannya adalah selingan yang menyenangkan di antara ‘kehidupan’ tanpa akhir yang kujalani.

Lama kelamaan, aku pun menikmati juga dihanyutkan dalam arus hubungan ganjil ini.

Sampai malam ini.

Saat Rena berkata dia bisa menerimaku apa adanya dan untuk itu dia ingin aku menunjukkan kepadanya diriku yang ‘sebenarnya’.

.
*BERSAMBUNG*