Sebagai penulis, saya keraknya amatir. Jangankan
dibandingkan dengan penulis-penulis profesional yang sudah menelurkan banyak
buku, dengan penulis medsos yang tulisannya dishare hingga ribuan kali pun saya
cuma remah-remahnya.
Tapi sebagai pembaca, bolehlah saya menyebut diri saya sebagai
pembaca novel profesional dengan belasan tahun pengalaman.
Kalau dianalogikan ke dunia kuliner, saya ini orang yang
nggak bisa masak, tapi sering ngejajan di luar. Jadi sekalipun saya nggak tahu sate
kambing itu dimasak pakai bumbu apa aja, tapi saya tahu sate yang enak itu seperti
apa, dan milik warung mana.
Sebagai pembaca profesional, saya bisa menilai bagus nggaknya
jalan cerita sebuah novel hanya dari membaca 2 lembar pertama. Ini beneran. Beberapa buku yang punya blurb (ringkasan cerita) seru di
belakang halaman tapi ternyata punya jalan cerita sampah di dalam, bisa
ketahuan hanya dari cara si penulis membuka cerita.
(ngomong-ngomong, saya juga pernah ‘ketipu’ blurb. Kalau cuma buku sewaan sih nggak masalah. Tapi kalau itu novel yang dibeli sendiri, nyeselnya bisa 7 hari 7 malam. Sia-sia buang uang).
(ngomong-ngomong, saya juga pernah ‘ketipu’ blurb. Kalau cuma buku sewaan sih nggak masalah. Tapi kalau itu novel yang dibeli sendiri, nyeselnya bisa 7 hari 7 malam. Sia-sia buang uang).
Balik ke soal kualitas tulisan.
Dari pengalaman saya selama ini sebagai pembaca, saya bisa
menarik 1 kesimpulan. Bahwa seorang penulis itu lebih hebat daripada seorang
aktor kawakan. Kenapa?
Seorang aktor, dalam sebuah judul film atau drama, hanya
bisa memerankan 1 karakter pada satu waktu (atau 2 paling banyak). Tapi seorang
penulis yang hebat mampu memainkan SELURUH karakter dalam novelnya di waktu
yang BERSAMAAN.
Saat dia menuliskan dialog seorang laki-laki berusia 49
tahun yang memiliki masalah bersosialisasi karena frustrasi dengan kehidupan,
maka dia benar-benar harus terbaca sebagai ‘laki-laki berusia 49 tahun yang memiliki
masalah bersosialisasi karena frustrasi dengan kehidupan’.
Saat dia menuliskan dialog seorang perempuan 36 tahun yang
baru bercerai dari suaminya dan harus menghidupi 2 anak yang menjelang remaja,
maka dia harus benar-benar terbaca sebagai ‘seorang perempuan 36 tahun yang baru
bercerai dari suaminya dan harus menghidupi 2 anak yang menjelang remaja’.
Tidak peduli apa gender si penulis.
(Dan semua ini hanya lewat kata-kata lo)
Contoh yang gagal dalam penerapan hal ini adalah seri Twilight. Cerita
ini sangat terlihat ditulis oleh perempuan. Penulis menuangkan terlalu banyak sisi
feminim dari dirinya dalam menggambarkan karakter. Pacar ganteng yang akan menunggui
ceweknya tidur sepanjang malam tanpa melakukan ‘apa-apa’ hanya ada dalam
khayalan perempuan (or he’s a gay). Di
dunia normal, sebagian laki-laki pasti
berharap (atau bahkan mengupayakan) terjadi ‘apa-apa’, sementara sebagian lain yang lebih baik nggak akan pernah
mendatangi kamar perawan di malam buta.
Walaupun idenya cukup fresh saat buku itu terbit (banyak
buku yang terbit kemudian yang ikut mengangkat tema cinta dua dunia), eksekusinya terbilang agak lame *sorry for that Ms. Meyer*. Akan lebih menarik kalau tokoh-tokoh vampirnya dibuat lebih real
tanpa meninggalkan sentuhan horor. Menurut saya loh.
Saya juga pernah baca cerpen/cerbung di mana tokoh laki-laki
memanggil istri/pacar mereka dengan sebutan “gadis kecilku” atau “cinta matiku”. Pada tulisan seperti itu, saya
nggak perlu repot-repot mencari tahu apakah penulisnya laki-laki atau
perempuan. Karena sudah jelas perempuan. Hanya perempuan yang berharap
diperlakukan seperti princess oleh
pasangan, dan harapan itu tertuang dengan gamblang di tulisan mereka. Tumpah ruah.
Meanwhile in real
life, men do love.
But most of them don’t treat you like a fragile chinese
doll. Not after a long marriage,especially.
Kalau mau lihat contoh yang bagus, bisa dibaca
tulisan-tulisan Sandra Brown atau seri detektif Cormoran Strike by Robert Galbraith a.k.a J.K Rowling. Penulisnya
cewek. Tapi dia berhasil menampilkan karakter detektif laki-laki yang sesuai
dengan gambaran yang diharapkan. Cormoran
does have feeling, but he walks in a man’s shoes. Pria ini punya
luka-lukanya sendiri, tapi menyikapinya dengan cara laki-laki. Nggak ada diary,
nggak ada surat mendayu-dayu, atau tangisan melolong. Setiap aspek dirinya
sesuai. Macho tapi nggak berlebihan.
Loh, emang ada yang
berlebihan? Ada. Mentang-mentang tokohnya laki-laki, dikit-dikit ngomong f*ck (LOL).
Penulisnya berusaha terlalu keras. Membaca tulisan seperti ini terasa seperti
makan kue tart dengan buttercream
yang kelewat tebal. Apa yang seharusnya bikin semakin enak, malah bikin semakin
eneg.
Just bcoz he’s a man,
doesn’t mean he f*ck-this-f*ck-that in every 5 minutes. Unless he’s a desperate
drug dealer. Hahaha.
Singkat kata, tulislah sesuatu yang believable. Yang karakter tokohnya kuat dan bisa dipercaya. Bisa dibayangkan
benar-benar hidup oleh pembaca, sekalipun genre-nya
fiksi fantasi. Sifat dan sikap karakter harus ditampilkan sesuai dengan latar
belakangnya.
Romance adalah aliran yang sering diambil oleh penulis. Tapi
percayalah, genre ini bisa jadi bumerang kalau nggak dieksekusi dengan baik. Cerita
cinta sangat mudah dilupakan. Kecuali yang mengangkat tema tidak biasa (contoh
: tema poligami di Ayat-ayat Cinta). Menulis genre romance yang stands out
itu nggak cukup hanya dengan mengandalkan kalimat-kalimat cheesy dan termehek-mehek.
Well, mungkin
modal itu akan cukup untuk membuat orang terharu setelah menutup halaman terakhir.
Tapi untuk membuat kisah itu tetap tertancap di kepala
hingga berhari, berbulan, atau bertahun kemudian?
Itu lain soal.