AURORA
(PART 1)
.
“Ren. Dengerin dulu donk. Jangan keburu...”
BRAAKK!!
Tempat sampah plastik yang biasa teronggok di sudut ruangan melayang menghantam tembok, hanya berjarak sesenti dari kepalaku. Tapi rupanya Rena belum puas. Dia kembali meraih barang lain yang ada dalam jangkauan tangannya sebagai sarana mengantarkan amarah.
“Aku nggak mau denger! Pergi! Pokoknya pergi!”
“Loh tapi salahku di mana? Kan kamu tadi yang minta…”
BLETAAKKK!!
Kali ini asbak kaca seukuran telapak tangan yang cukup berat terbang melintasi ruangan. Karena Rena melempar sembarangan dengan menutup mata, benda itu tidak mengenaiku. Tapi mendarat tepat di kepala Bobo, kucing peliharaannya yang selalu mendesis setiap kali kudekati. Binatang itu mengeluarkan dengkingan tertahan sebelum berlari secepat kilat, menyelamatkan diri dari kemungkinan gegar otak yang lebih besar. Aku meringis membayangkan sakitnya, tapi tidak merasa kasihan. Sebagian karena kucing jelek itu selalu berusaha mencakarku setiap ada kesempatan, dan alasan lainnya karena saat ini aku punya masalahku sendiri untuk kupikirkan.
“Kamu yang minta sendiri. Kamu yang bilang kamu bisa nerima aku apa adanya. Kok malah jadi ngamuk gini?” tanyaku frustasi, mengatasi jeritan-jeritan Rena yang pasti sanggup membuat telinga kelelawar berdarah-darah.
Sempat terpikir olehku kemungkinan cewek ini mendadak gila karena kebanyakan minum… entah apa. Air aki mungkin?
“Iya tapi bukan gini! Pergi kamu! Aku nggak mau lihat kamu lagi! Pokoknya pergiiiiiii!!!!”
Di antara keputus asaan untuk segera mengusirku dari hadapannya, Rena meraih bantal sofa. Ya, bantal sofa. Jadi setelah tempat sampah dan asbak yang keras gagal melaksanakan tugas, Rena berpikir bantal empuk akan bisa memberikan hasil yang lebih baik. Aku memutar bola mata.
“Jangan datang lagi ke sini! Awas kalau kamu masih berani muncul!”
BLUFFF!
Seperti yang bisa diduga, bukannya menggunakan bantal itu untuk mendekap hidungku agar mati kehabisan napas, Rena malah kembali melemparnya. Seolah pelengkap sofa itu akan mampu menyakitiku jauh lebih baik daripada asbak. Bukan maksudku untuk mengajari cara tercepat untuk menghabisi nyawa seseorang lo, tapi ayolah, bahkan cewek yang sedang menstruasi pun seharusnya masih punya akal sehat kan?
Apalagi kalau dia sudah berpacaran denganku selama beberapa waktu dan tahu bahwa melempariku dengan barang-barang tidak akan memberi efek apa-apa. Kalaupun Rena bisa membidik dengan benar, benda-benda itu hanya akan melayang menembus tubuhku.
Ya, menembus tubuhku.
.
.
.
Karena aku sudah mati.
****
Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu apakah aku benar-benar pernah hidup. Memang benar ada semacam kenangan berkabut dalam pikiranku tentang kehidupan. Seperti contohnya, aku yakin namaku Roni. Bukan Agus, Mamat atau Toyib. Tapi Roni.
Ada sesuatu dalam kenangan itu yang mengatakan bahwa aku tercerabut dari kehidupan manusia di usia yang masih muda. Aku pernah punya pekerjaan. Staf teknik sipil di sebuah pengembang perumahan yang bertugas sebagai pengawas lapangan. Sampai seorang pengemudi eskavator kehilangan kontrol dan menabrakku yang sedang berjalan menuju kantin di jam makan siang. Perutku berbunyi cukup keras karena lapar saat belalai raksasa eskavator brengsek itu menghantam tempurung kepalaku hingga remuk, membuyarkan angan-angan akan nasi rendang yang lezat.
Jadi disinilah aku sekarang. Di dunia yang sama sekali berbeda, di mana aneka sajian warung nasi Padang mustahil untuk dinikmati.
Atau setidaknya, begitulah yang kuyakini.
Sudah kubilang kan kenangan itu berkabut. Seperti sesuatu yang samar-samar tersembunyi di sudut kepala. Aku cukup yakin memang itulah yang terjadi walau tidak merasakan kelekatan emosional dengan gambarannya. Seperti melihat diriku sendiri bermain di sebuah film, tapi tidak pernah ingat kapan aku pernah melakukan pengambilan gambar. Mengerti kan?
“Ngapain bengong di sini?”
Suara serak yang mirip kucing terjerat tali jemuran membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihat sosok berwarna putih dari ujung kepala hingga ujung kaki berdiri tidak jauh, di ujung atap yang saat ini menjadi tempatku melipur lara. Sosok itu melompat-lompat mendekat, dan di lompatannya yang terakhir dia berhasil duduk di sisiku. Ujung kakinya yang terbungkus rapat oleh kain putih terjulur di susunan genteng yang landai.
“Nggak ngapa-ngapain”
“Habis diputusin ya?”
“Sok tahu” jawabku ketus.
“Si Rena teriak-teriak kayak orang kesurupan. Semua demit dari sini sampai radius 70 kilometer juga pasti pada denger”
Sosok putih yang suka mencampuri urusan orang ini adalah pocong. Tidak sepertiku yang merupakan sisa jiwa yang tertinggal dari sebuah kehidupan, dia dan beberapa jenis hantu yang lain tercipta begitu saja. Menurut pengakuannya, dia sudah berada di tempat ini sejak bumi masih muda. Telah melihat pergantian dunia selama ribuan tahun, dan masih belum kehilangan minat untuk menakut-nakuti manusia. Tentang kenapa dia berwujud seperti jenazah yang siap dikebumikan, tidak ada yang tahu. Toh Alex tidak pernah memusingkan hal itu. Menurutnya bisa menakuti manusia adalah kegiatan sampingan yang menyenangkan, jadi dia tidak merasa perlu memikirkan soal penciptaan dirinya sendiri.
Alex?
Ya, itu nama si pocong. Dia yang memilih. Begitulah sisi positif dari menjadi hantu yang tercipta dari kekosongan. Aku, karena tahu – atau merasa – bahwa namaku saat hidup adalah Roni, maka tidak ada alasan untuk mengganti nama panggilan. Tapi dia bisa mengambil nama apapun sesukanya sesuai trend dunia. Konon dia sudah mencoba segala macam nama sejak jaman batu. Alex adalah nama terakhir yang saat ini disandangnya. Supaya lebih terdengar milenial katanya.
Aku hanya mengangkat bahu saat Alex pertama kali menjelaskan soal ini. Konsep yang aneh, tapi aku tidak keberatan. Hantu berjenis pocong ada di mana-mana. Sama seperti kuntilanak dan genderuwo. Tidak memiliki nama panggilan hanya akan membingungkan. Tahu maksudku kan? Berusaha mengenali satu pocong dari pocong lainnya bukanlah hal mudah. Mereka semua persis permen vanila yang dibungkus daun jagung. Tanpa penanda, tanpa ciri khas. Lagipula Alex tidak suka dipanggil dengan nama yang diasosiasikan pada lokasinya bergentayangan. Panggilan ‘Alex’ terdengar jauh lebih praktis dan enak didengar ketimbang sebutan ‘Pocong-Jamban-Mampet-Rumah-Tua-Jalan-Anggrek-RT-5’.
“Malah diem. Ayo ngaku si Rena habis diapain?” rongrongnya, berusaha mengorek bahan gosip.
Aku merasa masalahku dan Rena akan segera menjadi perbincangan hangat di antara komunitas dedemit esok pagi.
“Nggak ada apa-apa. Dia sendiri yang tiba-tiba histeris”
Rena adalah seorang manusia dengan mata yang tidak biasa. Dia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan manusia lain. Dan di antara yang bisa dilihatnya adalah aku.
Rumah yang saat ini atapnya sedang kududuki adalah salah satu di antara ratusan rumah yang dibangun oleh pengembang tempatku bekerja dulu. Jalanan di depan sana adalah lokasi di mana aku menghembuskan napas terakhir. Aku bertemu Rena di tempat ini, saat dia baru datang untuk pindah ke rumah baru yang dibanggakannya. Sebagai orang yang terbiasa melihat hal-hal gaib, Rena tidak terlalu terkejut ketika pertama kali melihatku. Singkat cerita, kami berteman. Dan pertemanan berlanjut menjadi hubungan lain yang lebih intim.
Oke, aku tahu ini terdengar konyol. Tapi Rena adalah penggemar berat novel yang bercerita tentang kisah cinta antara manusia dan vampir vegetarian yang berkilauan. Oh, aku pernah bertemu dengan vampir ngomong-ngomong. Pendatang dari Bulgaria. Dan bisa kupastikan dia tidak suka dengan penggambaran kaum mereka di novel itu. Katanya dia tidak bisa membayangkan harus berciuman dengan manusia tanpa tergoda untuwk mencicipi darahnya. Itu seperti manusia yang berusaha berciuman dengan telur dadar. Lagipula vampir tidak berkilauan. Bahkan kalau melihat tampilan teman vampirku itu, aku ragu akan ada cewek waras yang mau menjadi pacarnya. Maksudku, dia itu bau. Tahu sendiri bagaimana kebiasaan orang Eropa di masa kegelapan kan? Mereka menganggap mandi adalah hal tabu. Jadi kalau semasa hidup mereka bahkan tidak suka mandi, bagaimana menurutmu bau mereka setelah mati dan gentayangan?
Meski begitu, romansa dalam buku itu telah mempengaruhi penilaian Rena tentang hubungan antara manusia dan hantu. Menurutnya, kisah cinta dua dunia seperti itu sangat romantis (ingatkan aku untuk menampakkan diri di hadapan kakakku agar bisa memberinya peringatan mengenai imajinasi remaja jaman sekarang. Aku tidak mau didatangi oleh hantu muka rata yang meminta restu untuk memacari keponakanku yang beranjak remaja). Aku menganggap niatan Rena hanya lelucon pada awalnya, tapi tidak bisa berbohong pada diriku sendiri. Keberadaannya adalah selingan yang menyenangkan di antara ‘kehidupan’ tanpa akhir yang kujalani.
Lama kelamaan, aku pun menikmati juga dihanyutkan dalam arus hubungan ganjil ini.
Sampai malam ini.
Saat Rena berkata dia bisa menerimaku apa adanya dan untuk itu dia ingin aku menunjukkan kepadanya diriku yang ‘sebenarnya’.
.
*BERSAMBUNG*