Bubu sedang berjalan-jalan di sekitar sungai bersama keempat
saudaranya. Mereka akan pergi memancing hari ini. Musim penghujan sudah
lama pergi, berganti dengan sinar matahari yang hangat. Bubu menyukai
musim kemarau seperti ini, karena batu-batu sungai bermunculan seiring
dengan surutnya permukaan air. Dia dan saudara-saudaranya bisa melompat
dari satu batu ke batu yang lain sambil memilih pijakan ternyaman untuk
mengail keluar ikan yang melintas dengan cakar mereka yang tajam. Hal
ini tidak mungkin dilakukan di musim hujan di mana banjir dari hulu akan
menenggelamkan semua bebatuan sungai.
Bebo, salah satu adiknya
yang berbulu merah tidak berani melompat terlalu jauh ke tengah sungai.
Dia hanya berdiri di sebuah dahan pohon tumbang di pinggir sungai sambil
melongok-longok ke arah air, berharap cukup beruntung untuk mendapatkan
seekor dua ekor ikan yang berenang di pinggir. Sementara Bibu, Bobo dan
Bebe berloncatan ke sana kemari di bebatuan tengah sungai, meskipun
mereka tidak bisa melompat selincah Bubu sang kakak. Bebe bahkan sempat
terpeleset dan hampir tercebur, memancing ejekan dan tawa dari tiga
saudaranya yang lain.
Ketika Bubu sedang berusaha mengail ikan
ketiganya, dari bawah bayang-bayang pepohonan hutan muncul dua ekor
rubah betina. Kedua binatang itu berjalan beriringan seraya mengobrol.
Mereka tidak memperhatikan keberadaan Bubu dan keempat adiknya hingga
berada cukup dekat dengan pinggiran sungai. Begitu dilihatnya lima ekor
anak kucing yang sedang memancing, salah satu rubah itu menghardik.
“Hoi! Sedang apa kalian?” mata si rubah yang memang sudah kecil
memicing, menyisakan hanya sebentuk garis yang membuatnya semakin tak
enak dilihat.
Bubu mendongak. Seekor ikan menggelepar di bawah telapak kakinya, seakan mengetahui bahwa perhatian pemburunya sedang teralih.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Ini sungai kami!” si rubah yang tidak mendapatkan jawaban kembali berteriak.
Empat saudara Bubu menciut. Ekor mereka terlipat di antara kaki
belakang, dan daun telinga mereka menempel di puncak kepala.
Kucing-kucing itu beringsut ke pinggir sungai dengan langkah kuyu. Tapi
Bubu tidak beranjak dari tempatnya.
“Sejak kapan sungai ini menjadi milik kalian? Semua binatang di hutan bebas menggunakannya” jawab Bubu tanpa takut.
“Oh, ada anak kurang ajar di sini. Tidak pernah diajari orang tuamu
untuk bicara sopan pada yang lebih tua ya?” rubah yang sedari tadi ribut
kembali membentak.
“Kenapa kau harus buang-buang tenaga, Foxi?
Langsung terkam saja mereka” rubah yang satu lagi berkata ringan seraya
mematut-matut diri di permukaan air yang lebih tenang.
“Aku tidak
mau mengotori gigiku dengan bulu-bulu kucing” desis rubah yang dipanggil
Foxi “Kenapa bukan kau saja yang mengusir mereka Foxa? Lakukan sesuatu
yang berguna. Jangan memandangi diri di air terus”
“Bulu-buluku sedang indah hari ini” jawab Foxa, tak berhenti memandangi pantulan wajahnya di air “Aku tidak mau merusaknya”
Bubu memutar bola mata, mulai bosan mendengar pertengkaran bibi-bibi rubah ini.
“Tidak ada yang akan mengusir kami ke mana pun” kata Bubu “Kita bisa
berbagi. Sungai ini panjang dan besar. Tidak ada yang perlu pergi”
“Berbagi sungai dengan anak-anak kucing bau?” Foxi mengernyitkan hidung
panjangnya, seakan ide itu menjijikkan “Kami tidak sudi!”
“Hey!
Kami tidak bau!” Bebo memberanikan diri berteriak dari pinggir sungai.
Meski begitu, dia langsung mundur ke balik punggung saudara-saudaranya
ketika para rubah di seberang sungai melempar pandangan sebal padanya.
Foxi memandangi Bubu dan saudara-saudaranya lekat-lekat selama beberapa saat.
“Aku tahu siapa kalian” ujarnya “Kalian anak-anaknya Boni kan? Di mana ibu kalian itu?”
Bubu sudah akan membuka mulut untuk menjawab, tapi Foxi tiba-tiba
tertawa melengking “Oh maafkan aku. Aku lupa bahwa induk kalian pasti
sudah pergi jauh sekarang kan? Mencari pejantan lain dengan pantatnya
yang gemuk itu. Pasti sedih sekali ya menjadi anak kucing. Ditinggal
pergi oleh ibu yang hanya memikirkan cara untuk menemukan kucing jantan
baru”
“ITU kalau dia bisa menemukan pejantan baru, Foxi. Kau tidak
tahu betapa dia berusaha keras untuk itu. Kucing yang tercantik di
seluruh hutan, katanya. Cih!” Foxa mencibir “Padahal dia tidak lebih
dari gumpalan bulu usang”
“Menurutmu dia bisa menyaingi kita berdua? Hohoho. Beberapa hewan memang tidak pandai menilai diri sendiri” Foxi terkikik.
Jelas mereka sudah kelewatan. Sebelum rubah-rubah itu menyadari, Bubu
sudah menghambur ke arah salah satu di antara mereka, meloncat tepat ke
wajahnya dengan cakar runcing terhunus. Foxi terkejut dengan gerakan
Bubu, dan tidak siap menghindar. Sebuah cakaran panjang berhasil
didaratkan oleh kucing abu-abu muda itu ke wajah si rubah penggosip.
Namun rubah adalah binatang yang gesit. Tidak perlu waktu lama bagi
Foxi untuk menguasai keadaan dan membela diri. Dia mengayunkan kaki
depannya keras-keras ke arah kepala Bubu, membuatnya jatuh terpental.
Saudara-saudaranya tidak tinggal diam. Meskipun mereka tidak sepemberani
Bubu, tapi melihatnya kesakitan telah memunculkan keberanian dalam diri
mereka. Bebe, Bibu, Bobo dan Bebo mengeroyok Foxi, melayangkan cakaran
sebisa mereka.
Rubah itu mulai kewalahan. Tapi dia tidak berniat
untuk mengalah pada kucing-kucing muda ini. Pinggiran sungai itu dengan
cepat menjadi amburadul karena perkelahian mereka. Kerikil terlempar ke
sana kemari, debu-debu beterbangan, dan lumpur bercipratan ke segala
arah.
“Hentikan kalian semua! Foxi! Berhenti!”
Suara
Foxa melengking di antara keenam binatang yang berseteru. Demi mendengar
suara itu, mereka semua berhenti melayangkan cakaran dan gigitan.
“Ada di pihak mana kau?” Foxi membentak Foxa “Bukannya membantuku, kau
malah diam saja di situ mengagumi hidungmu yang gosong! Kau tidak lihat
luka-luka di tubuhku karena cakaran mereka ini?!”
Foxa dengan santai mendekat seraya menggoyangkan ekornya dengan centil.
“Justru bagus jika mereka sempat melukaimu, Foxi” suaranya mengalun licik.
“Apa maksudmu?”
“Kita tinggal mengadukan anak-anak ini pada paman Foxo. Dia adalah
orang kepercayaan raja Lion. Kalau raja melihat luka-lukamu, dia tentu
tidak akan mengampuni anak-anak ini. Aku yakin raja akan langsung
mengusir mereka keluar dari hutan”
Foxi tercengang mendengar ide Foxa, namun perlahan-lahan seringai penuh kepuasan muncul menghiasi wajahnya.
“Kau benar. Itu ide yang sangat cemerlang”
“Tentu saja. Aku memang selalu lebih pintar darimu” jawab Foxa dengan mengangkat dagunya.
Kini ganti Foxi yang tertawa melengking “Kalian dengar anak-anak nakal?
Lebih baik segera bereskan sarang kalian karena raja Lion akan segera
mendepak kalian semua keluar dari hutan”
“Enak saja! Kalian yang
memulai duluan! Kalian yang mengejek ibu kami” Bibu yang memiliki badan
terkecil di antara kelima saudara kucing itu berteriak lantang.
“Itu benar! Raja tidak akan mempercayai kata-kata kalian” imbuh Bubu.
“Oh ya? Mari kita lihat saja” Foxa menyahut “Tidak ada yang tahu siapa
yang memulai pertengkaran ini. Hanya kata-kata kalian yang beradu dengan
kata-kata kami. Tapi luka-luka di wajah Foxi adalah bukti yang sangat
kuat. Kalian dengan sengaja telah mengeroyok binatang lain. Rubah tua
betina yang bahkan kewalahan menerima serangan...”
“Hey! Aku belum tua!” Foxi berjengit mendengar ide bahwa dia akan dicitrakan sebagai seekor rubah yang sudah keriput.
Sesungguhnya, Foxa dan Foxi memang sudah cukup tua. Tapi keduanya tidak
ingin mengakui itu. Mereka masih suka mematut-matut diri, berharap akan
ada rubah jantan yang cukup tolol atau buta untuk terpikat pada
keduanya.
“Untuk kali ini, kau terima sajalah fakta usiamu. Itu
akan membantu di hadapan raja Lion nanti” desis Foxa yang tidak suka
kata-katanya dipotong oleh saudarinya.
“Pulanglah sana, anak-anak” imbuh Foxa kepada Bubu dan saudara-saudaranya “Masih ada waktu untuk menangisi nasib kalian”
Setelah berkata begitu, kedua rubah betina yang culas dan licik itu pun
pergi. Melenggang ke balik semak-semak hutan dengan ekor yang sengaja
dikibas-kibaskan dengan gerakan berlebihan.
“Bubu, apa menurutmu
raja Lion akan mendengarkan mereka?” Bobo yang berperut gendut
ketakutan. Membayangkan jika mereka semua harus dipanggil menghadap raja
untuk menjelaskan hal ini telah membuat perutnya mulas. Konon raja Lion
adalah seekor singa yang berbadan besar. Suaranya pun menggelegar
kencang. Siapapun yang berhadap-hadapan dengannya pasti akan ciut nyali.
Belum lagi surai panjang yang membuat kepalanya terlihat tiga kali
lebih besar, seolah siap untuk mencaplok kepala siapapun yang berani
bermain-main dengannya.
Bubu menggertakkan rahang “Jangan khawatir. Raja Lion tidak akan gegabah memutuskan perkara hanya karena luka-luka kecil”
Meski begitu, Bubu sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Dia belum
pernah bertemu langsung dengan singa penguasa hutan itu. Pun tidak
pernah perlu berurusan dengannya. Tapi Bubu ingat percakapan yang pernah
dilakukannya dengan paman Raku. Kura-kura tua itu berkata bahwa raja
Lion adalah sosok yang cukup adil. Meskipun tampangnya menakutkan, tapi
dia bukan raja yang bengis. Bubu berharap kata-kata paman Raku ada
benarnya.
“Jadi? Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Bebe mencicit di belakang punggung Bobo.
“Mari kita pulang. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan nasib di sini. Lagipula selera makanku sudah rusak” jawab Bubu.
Kelima anak kucing itu pun kembali berjalan beriringan, menyeberangi
sungai dengan langkah gontai. Ketika telah sampai di tepian, sebuah
gerakan tiba-tiba dari celah-celah batu mengagetkan mereka.
“Siapa di situ?” Bubu menghardik.
Tidak ada jawaban.
“Aku tahu kau di sana. Keluar saja”
Setelah menunggu selama beberapa saat, dari celah bebatuan muncul
sepasang telinga bundar berwarna abu-abu, hampir mirip seperti warna
bulu Bubu. Tapi alih-alih seekor kucing, telinga itu rupanya milik
seekor tikus yang gendut. Binatang itu takut-takut melirik Bubu dan
saudara-saudaranya dari balik batu. Tidak berani keluar, dan bahkan
sudah siap berlari kencang-kencang jika ada di antara anak-anak kucing
itu yang bermaksud menerkamnya.
“Kenapa kau ketakutan begitu?” tanya Bibu sambil menelengkan kepala dengan gaya yang menggemaskan.
“Ti-tidak. Aku tidak ta-takut” jawab si tikus
“Lalu kenapa bicaramu gagap begitu?”
“Ti-tidak kok. Aku tidak ga-gagap”
“Siapa namamu?”
“Na-namaku Mousy” jawab si tikus masih dengan gagap.
“Kenapa kau bersembunyi? Kami tidak akan menyerangmu” Bebo keheranan.
“Benarkah? Tapi... bukankah kucing selalu memburu ti-tikus?” Mousy mencicit dari balik batu.
Bubu dan saudara-saudaranya sontak tergelak, membuat Mousy menjadi bingung.
“Kami tidak suka makan tikus, Mousy. Kami hanya makan ikan. Yah.. sesekali kami menangkap serangga juga sih” jawab Bubu.
“Betul. Tikus sama sekali tidak enak” Bebe menjulurkan lidahnya dengan tampang jijik.
“Belum lagi ekor kalian yang selalu bikin tersedak itu. Euww!” Bibu menimpali.
Mousy menatap kelima bersaudara itu dengan pandangan tercengang.
Bisakah dia mempercayai mereka? Atau itu hanya muslihat para kucing agar
dia mengendurkan kewaspadaan?
“Apa yang sedang kau lakukan di sini tadi?”
“Aku... aku hanya... ingin meminta sisa-sisa kepala ikan. Sisa yang
kalian tinggalkan” Mousy melirik takut-takut pada tumpukan kepala dan
tulang ikan di dekatnya. Itu adalah sisa makanan Bebe yang tadi
ditinggalkannya karena melihat Bubu berkelahi.
“Oh.. makan saja. Kami sudah kenyang. Baiklah kalau begitu, kami pergi dulu ya” Bubu berkata riang.
Kelima anak kucing itu pun pergi beriringan. Mousy yang masih tertegun
tidak melepaskan pandangan dari sosok kucing-kucing itu hingga mereka
tidak terlihat lagi. Baru setelah itu, dia bisa menghembuskan napas
lega, dan melanjutkan makan siangnya di tepian sungai yang bergemericik.
***
“Ini anak-anak kucing itu, Yang Mulia. Yang sudah
menyerang keponakan-keponakanku. Anda bisa lihat wajah Foxi yang
luka-luka karena mereka. Itu adalah pertikaian yang tidak adil. Lima
ekor kucing melawan seekor rubah”
Itu adalah kata-kata Foxo. Dia adalah rubah yang menjadi salah satu penasehat raja di hutan.
Seperti yang sudah diduga oleh Bubu, dia dan saudara-saudaranya
dipanggil ke padang rumput kediaman Lion untuk menjelaskan perihal
perkelahian mereka dengan Foxi di tepi sungai.
Di atas batu,
Lion bertengger. Singa itu menguarkan aura yang sangat kuat. Membuat
yang lain merasa berkali lipat lebih kecil daripada ukuran tubuh mereka
sebenarnya. Di sekitar Lion, ada singa-singa betina yang duduk bersama
anak-anak mereka. Itu adalah para pendamping sang raja hutan. Bahkan
singa betina yang tak memiliki surai pun mampu mengeluarkan geraman yang
sanggup memecahkan bebatuan. Singa benar-benar makhluk menakutkan
sekaligus mengagumkan, pikir Bubu.
Di bawah, di sisi sebelah
kiri adalah Foxo bersama dua keponakannya yang manja. Sementara
berderet-deret membentuk lingkaran di sekitar mereka adalah
binatang-binatang hutan lain yang datang sebagai saksi atas pengadilan
ini. Gajah, jerapah, burung elang, zebra, rusa, dan masih banyak lagi.
Bahkan paman Raku yang bergerak lambat pun ada di sana, untuk memberi
dukungan pada Bubu dan saudara-saudaranya.
“Kami memang
menyerang salah satu dari mereka, Yang Mulia. Tapi itu karena dia telah
mencela ibu kami. Dia mengatakan hal-hal yang tidak sepatutnya” Bubu
membela diri.
“Bohong!” suara Foxi yang melengking menyambar “Kami
tidak melakukan apa-apa. Saya dan Foxa hanya datang untuk minum air.
Tapi mereka mengusir kami. Berkata bahwa sungai itu adalah milik mereka.
Bayangkan, Yang Mulia. Hanya karena mereka berada di sana lebih dulu,
mereka berani berkata bahwa mereka adalah pemilik sungai. Padahal sungai
itu adalah milik semua binatang di hutan”
“Dan ketika kami menolak
untuk pergi, mereka mulai menyerang saudariku. Mereka mengeroyoknya
hingga wajahnya luka-luka. Kami hanya sepasang rubah tua. Tentu tidak
berdaya menghadapi kegesitan kucing-kucing ini” imbuh Foxa, seraya
berpura-pura menangis.
“Dasar rubah kudisan licik” desis Bibu. Tapi Bubu melarangnya untuk mengumpat keras-keras.
Lion menegakkan diri di tempatnya, otomatis membuat beberapa hewan
mengambil satu langkah mundur. Bahkan Foxa pun menghentikan sedu
sedannya yang dibuat-buat. Surai Lion yang panjang tertiup angin,
sementara biji matanya tajam dan dingin. Dia melangkah turun dari batu
singgasananya. Saat Lion berjalan, otot di pundak dan punggungnya
terlihat ikut bergerak. Keempat kakinya mantap memijak rerumputan. Bubu
menelan ludah. Si raja hutan pastilah mampu menelan tubuhnya hanya dalam
sekali gigit.
Lion berjalan ke arah Foxi dan Foxa. Dia berhenti
selangkah di hadapan kedua rubah itu dan memandangi wajah keduanya,
menelisik mencari tanda kebohongan.
“Bukan begitu cerita yang kudengar” geram Lion dengan suara berat dan dalam.
Foxi dan Foxa saling berpandangan “Apa maksud Yang Mulia?”
“Kalian berbohong kepadaku”
“Ta-tapi... tidak Yang Mulia. Kami tidak berbohong” Foxi dan Foxa mulai panik.
“Mousy!!” suara Lion menggelegar ketika dia memanggil nama tikus yang
dikenalnya. Seketika rubah-rubah di hadapannya menunduk gemetaran.
“Yang Mulia” Mousy si tikus keluar dari balik batu, agak gugup karena
berada di tengah-tengah hewan yang berukuran jauh lebih besar darinya.
“Hei! Itu tikus yang kita temui!” Bebe menunjuk-nunjuk.
“Mousy berada di sungai yang sama dengan kalian saat itu” kata Lion
“Dia menyaksikan semuanya. Dan menurut kesaksiannya, kalian memang telah
mengganggu kucing-kucing ini lebih dulu dengan mengatakan hal-hal yang
tidak sopan mengenai ibu mereka”
Foxo si rubah penasehat
kebingungan. Dia tidak menyangka bahwa keponakan-keponakannya telah
berbohong. Dia merasa dikhianati dan sangat kecewa, sekaligus malu pada
Lion.
“Benar begitu?” tanya Foxo kepada Mousy
“Be-benar tuan
Rubah. Kedua rubah betina itulah yang mengganggu kucing-kucing ini.
Bahkan mereka mengusir kucing-kucing ini dari sungai karena menurut
mereka kucing itu bau” cicit Mousy.
“Tapi.. tapi... Anda tidak bisa
percaya begitu saja pada kata-kata seekor tikus! Tikus adalah binatang
menjijikkan dan kotor. Kami adalah keponakan paman Foxo, orang
kepercayaan Yang Mulia sendiri!” Foxi membela diri.
“Benar. Kami
tidak melihat tikus ini di sana. Dia pasti mengada-ada! Dia hanya ingin
terkenal dan memanfaatkan situasi!” Foxa menambahkan.
“Diam!”
Lion membentak dalam satu kata. Kawanan burung yang sedang bertengger di
pucuk-pucuk pohon yang tak jauh seketika berhamburan ke langit, gentar
oleh suara Lion yang digemakan padang rumput. Foxi dan Foxa sontak
saling menempelkan tubuh ketakutan. Ekor keduanya terlipat di antara
kaki belakang. Jika sudah marah seperti ini, bahkan Foxo sang rubah
penasehat pun sudah tidak berani membantah.
“Mousy, tikus yang
menjijikkan dan kotor menurut kalian ini, adalah sahabatku” kata Lion
“Dia adalah tikus yang pernah membebaskanku dari jerat pemburu. Tidak
ada alasan baginya untuk membohongiku. Sementara kalian, jasa apa yang
pernah kalian berikan padaku selain menjadi penjilat dan pencari muka?”
Foxa dan Foxi semakin menciut.
“Aku sudah mengetahui sepak terjang kalian. Tukang gosip yang kesana
kemari menyebarkan berita-berita tidak benar. Kalian menjelek-jelekkan
binatang lain dan selalu mengadu domba. Selama ini aku bersabar karena
memandang Foxo yang setia kepadaku. Tapi kali ini aku tidak akan
mengampuni kalian lagi”
Telinga Bubu dan keempat saudaranya berdiri, melihat harapan pada kata-kata Lion.
“Pergi kalian dari hutan ini! Dan jangan berpikir untuk kembali lagi!
Kalau sampai aku mengetahui keberadaan kalian lagi di sini, ingat
baik-baik bahwa itu akan jadi hari terakhir bagi kalian” ancam Lion
seraya menjilat mulutnya, menunjukkan taring-taring yang tajam.
Foxi dan Foxa gemetaran. Namun mereka tidak sebodoh itu hingga masih
berharap Lion akan memberikan ampunan. Tanpa aba-aba, kedua rubah betina
yang suka bergosip itu pun segera lari terbirit-birit.
Binatang-binatang yang lain tertawa, senang atas kepergian dua rubah
yang memang tidak pernah disukai oleh siapapun itu. Foxo yang malu pun
meminta maaf pada Lion atas kecerobohannya.
Namun Bubu dan
saudara-saudaranya masih berdiri takjub di sana, tak berkedip memandangi
Lion yang kini perhatiannya tertuju pada mereka. Sang raja hutan
berdiri menjulang, hingga Bubu harus mendongak menatapnya. Napas Lion
yang berat dan panas menerpa ujung kepala Bubu.
Sesungguhnya kaki Bubu gemetaran. Berada sedekat ini dengan seekor singa bahkan tidak pernah dia impikan.
“Kau adalah kucing pemberani. Mousy bercerita bahwa kau memberi cakaran
yang cukup panjang ke wajah rubah itu” puji Lion kepadanya “Aku juga
akan melakukan hal yang sama pada siapapun yang berani menghina ibuku”
Bubu, tidak tahu harus menjawab apa, hanya mampu bergumam mengucapkan terimakasih.
“Tetaplah seperti itu. Singa dan kucing adalah kerabat jauh. Jangan
buat malu keluargamu dengan menjadi pengecut yang tidak berani berpijak
pada kebenaran”
Hidung Bubu mengembang mendengarnya. Dia bahkan
berdiri lebih tegap, berharap dirinya dapat terlihat sama gagah dengan
Lion meskipun itu mustahil.
Lion melangkah kembali ke
singgasananya, tapi tidak sebelum berkata “ Tapi jangan mudah
melayangkan cakarmu, Nak. Kau tidak tahu seberapa besar usaha para nenek
tua itu untuk tetap terlihat muda. Mereka bahkan rela merendam wajah
dalam lumpur”
Para binatang pun tergelak bersama.