Bahagia itu sesimpel bisa berfoto selfie tanpa pipi
kelihatan melembung. Yeaaaayy!
Anyway ada yang mau kuceritakan soal foto ini.
Coba perhatikan. Di bola mata kiri, di bagian yang warna
hitam. Ada seperti selaput putih kan? Beda dengan bola mata kanan yang warna
hitamnya normal. Percayalah, yang membayang warna putih itu bukan pantulan penampakan
mbak kunti.
Jadi itu dimulai di masa-masa PSG waktu saya kelas 2 SMK.
Saya inget banget kejadiannya waktu lagi jalan pulang, setelah satu hari yang
panjang di sebuah bank tempat saya PSG (pendidikan sistem ganda alias magang).
Sore hari, langit cerah. Angin sepoi-sepoi. Kendaraan
berlalu lalang di sekitar saya, tapi sama sekali nggak seramai saat tanggal
gajian di mana orang-orang biasa tumplek blek di jalanan itu yang notabene
emang kawasan pertokoan.
Nggak dinyana nggak disangka, si angin yang nampaknya
bersahabat itu justru membawa serta debu-debu (bukan intan) yang rupanya
memilih untuk mendarat di mata kiri saya. Namanya pun masih bego ye, waktu itu
saya sontak ngucek mata yang kemasukan debu (untung tanpa deterjen). Tapi nggak
seperti kelilipan biasa, kelilipan saat itu menyiksa banget. Debunya nggak
keluar, bahkan sampai bikin mata saya iritasi seharian.
Udah diobati pakai tetes mata yang dijual bebas, tapi tetep
aja nggak sembuh. Singkat kata, akhirnya diperiksakan ke poli mata rumah sakit.
Ternyata si debu yang dikucek itu masuk cukup jauh sampai ke syaraf mata dan
sudah menyebabkan luka pada kornea. Makanya setiap kali diobatin pakai obat
dari dokter itu, yang sakit bukan matanya. Tapi kepala kiri bagian belakang.
Setelah beberapa kali periksa dan ngejalani pengobatan, mata kiri saya udah
nggak merah lagi. Dan rasa sakit yang dirasakan di bagian kepala belakang udah
hilang. Masalahnya, kornea sudah rusak.
Selaput putih di bola mata itulah bekas lukanya. Daya
pandang mata kiri saya sekarang ini paling cuma 10 – 20 persen aja. Buram
banget. Obyek yang diletakkan di depan mata pun nggak kelihatan jelas. Bahkan
suami duduk tepat di hadapan pun saya nggak akan bisa tunjuk mana hidung mana
alisnya. Cuma kelihatan sosoknya aja, tapi detail wajah nggak terlihat.
Kata dokter waktu itu, solusinya ya cuma transplantasi
kornea. Tapi karena pertimbangan bahwa yang rusak hanya salah satu mata,
sebaiknya nggak dilakukan. Karena kalau sampai nggak cocok dan ada komplikasi,
malah makin repot. Jadi kata dokter, dirawat aja mata yang kanan. Dijaga
baik-baik biar nggak kena kejadian yang sama. Toh dengan satu mata pun dunia
masih kelihatan kok (Selamettttt Gusti Allah ngasih mata itu dua, bukan cuma satu).
Makanya kalau ketemu saya pas jelong-jelong pake sunglass,
itu bukan karena sok kece. Hahaha. Tapi ya tahu sendiri lah debu jalanan
laknatnya kayak apa. Lagipula, sejak kejadian itu, mata kiri saya ini nggak
bisa kena angin lama-lama. Jalan ke Poncokusumo aja udah bikin kepala bagian
kiri tepat di atas mata cenut-cenut ra karuan. Kalau berhenti sebentar,
sakitnya hilang. Begitu jalan kena angin, sakit lagi. Jadi matanya nggak boleh
kena angin lama-lama.
Kalau ada hikmah yang bisa diambil dari foto selfie ini,
hindarilah ngucek mata setelah kelilipan. Mending ditetesi obat mata ringan
biar debunya keluar, atau kalau yang biasa, dicuci pakai air daun sirih anget.
Lagi di tengah perjalanan dan nggak bawa obat mata? Ya ditahan-tahan aja dulu.
Syukur-syukur kalau debunya kelihatan dan bisa diambil (tapi jari harus bersih
ya). Atau matanya dikejap-kejapkan biar debunya bergerak ke sudut yang mudah
dijangkau. Asal jangan ngejap-ngejapkan mata di depan orang asing ya. Bisa
dikira ngasih kode naksir nanti.