Entri yang Diunggulkan

Rabu, 28 Maret 2018

BUBU SI KUCING DAN KURA-KURA TUA

  https://www.yourcat.co.uk/cat-advice/kitten-care/how-do-i-choose-a-healthy-kitten/

Bubu adalah seekor anak kucing berwarna kelabu. Bersama dengan ibu dan empat saudaranya, Bubu tinggal di sebuah sarang yang sangat nyaman. Ibu Bubu adalah seekor kucing betina yang pemberani namun sangat penyayang. Setiap hari dia keluar dari sarang, meninggalkan kelima anaknya dan kembali dengan membawa ikan bagi Bubu serta saudara-saudaranya. 

Bubu sangat mengagumi ibunya. Baginya, sang ibu adalah pahlawan. Sekalipun tanpa kehadiran seorang ayah, ibunya tetap mampu memastikan kebutuhan Bubu dan saudara-saudaranya selalu tercukupi. Beberapa kali, ibunya bahkan pulang dalam keadaan terluka karena berebut makanan dengan kucing lain, ataupun berkelahi dengan hewan-hewan lain yang mengganggunya. Itu membuat hati Bubu sangat sedih. Dia ingin sekali membantu sang ibu. Tapi apa daya, Bubu hanyalah seekor anak kucing yang mungil. 

"Kau harus menjadi kucing yang tangguh, Bubu sayang. Di luar sana sangat keras. Kau harus mampu menjadi kucing yang mandiri, dan tak bergantung pada orang lain" begitulah ibu Bubu pernah memberi pesan pada suatu kali. 

Bubu mengingat dan menyimpan pesan itu dalam hati dengan sungguh-sungguh. Dia bertekad akan menjadi kucing yang juga tangguh seperti ibunya. 

Terlahir dari ibu yang cantik, Bubu pun tumbuh menjadi anak kucing yang tidak kalah mengagumkan. Di sela-sela waktu bermainnya, Bubu suka memandangi bayangannya di air dan mengagumi dirinya. Bubu menyukai bulunya yang mengkilap dan halus, ekornya yang panjang dan matanya yang jernih. Lama-kelamaan, rasa kagum pada dirinya berubah menjadi kecongkakan. Bubu menjadi suka mengejek hewan lain yang menurutnya buruk rupa, bahkan mencibir saudara-saudaranya sendiri yang tak secantik dirinya. 

"Lihatlah anak bebek itu. Dia begitu jelek. Meleter dengan kepala yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya" 

"Kenapa anak tikus sangat menjijikkan? Tubuhnya bau dan tidak memiliki bulu sama sekali" 

"Aku melihat anak burung yang terjatuh dari pohon bersama sangkarnya kemarin. Euw.. dia berisik sekali berciap, tapi tak kulihat ibunya datang menolong. Ibu macam apa itu?" 


Begitulah, Bubu menjadi anak kucing yang suka merendahkan hewan lain. Bagi Bubu, hanya ibunya dan dirinya sendirilah yang hebat di dunia ini. 

Pada suatu hari, ketika Bubu sedang berjalan di tepian danau, dilihatnya seekor kura-kura yang berjemur di atas batu. Kura-kura itu biasa dipanggil paman Raku oleh hewan-hewan di hutan. Konon, paman Raku telah hidup ratusan tahun. Itulah kenapa dia menjadi guru yang disegani. Pengalamannya begitu banyak, pengetahuannya pun begitu luas. Meski begitu, paman Raku tidak pernah menyombongkan diri. Dia menjalani hidup yang tenang di danau, tak pernah mencari musuh, dan memilih untuk menghindari masalah jika bisa. 

"Halo Paman!" sapa Bubu. Ini bukan pertama kalinya mereka bertemu. Paman Raku adalah satu dari sedikit binatang di hutan yang disukai Bubu, selain ibunya dan dirinya sendiri. 

"Oh, halo Bubu. Apa kabarmu hari ini?" paman Raku menjawab dengan suara bergetar karena usia, namun tetap terdengar tegas. Perlahan dia memutar tubuhnya di atas batu, agar bisa menghadap si kucing kecil yang mendatanginya. 

"Baik, terima kasih. Apa yang sedang paman lakukan?" 

"Ah.. kau tahulah. Menjemur tempurungku agar terbebas dari jamur" paman Raku menjawab dengan terkekeh "Di mana saudara-saudaramu? Kau tidak bermain bersama mereka hari ini?" 

"Tidak. Lagipula tidak ada gunanya. Saudara-saudaraku tidak pernah bisa berlari secepat diriku. Mereka pun tidak bergerak selincah aku. Bermain bersama mereka sangat membosankan" Bubu menggerutu. 

Paman Raku yang bijaksana hanya tersenyum. Dia turun dari batu tempatnya berjemur, menuju rumput yang dinaungi bayang-bayang di sisi Bubu. Kura-kura tua itu bergerak begitu lamban, hingga Bubu merasa gemas ingin menyambar tubuhnya.

"Bagaimana paman bisa bertahan seperti itu?" 

"Apa maksudmu?"

"Paman bergerak dengan sangat lambat. Apa paman tidak kesal dengan diri paman sendiri? Lihatlah aku. Aku bisa berloncatan ke sana kemari dalam waktu satu detik" Bubu memamerkan diri dengan melompat-lompat di depan hidung paman Raku "Apa paman tidak mau menjadi sepertiku?" 

"Setiap binatang dilahirkan dengan takdir mereka masing-masing, Bubu. Jika aku bisa melompat-lompat sepertimu, maka istriku akan terkaget-kaget hingga mati terkejut" jawab paman Raku geli. 

"Pasti sangat membosankan terlahir sebagai kura-kura" Bubu menekuk keempat kakinya, dan meletakkan kepala di atas dua kaki depannya. Dia berusaha meresapi kehidupan paman Raku, tapi tidak berhasil. Sedetik kemudian dia kembali hilir mudik ke sana kemari. Bubu memang tidak pernah bisa diam saja. 

"Kalau kau sudah menjalani hidup sepertiku selama ratusan tahun, percayalah Nak, tidak ada lagi yang akan terasa membosankan" 

Bubu berhenti berlari. Kepalanya tegak dengan dua telinga yang terangkat. Tiba-tiba saja dia teringat sesuatu.

"Paman, kemarin aku melewati rumah para ayam. Tahukah paman, ayam-ayam itu keluar dari sesuatu yang bercangkang! Mereka tidak terlahir dari tubuh ibu-ibu mereka! Apakah ibu mereka malas? Kenapa mereka melahirkan anak-anaknya dengan cara seperti itu? Ibuku pernah berkata, bahwa melahirkan anak-anak sangat menyakitkan baginya. Apa karena itu ibu para ayam lantas tidak mau mengeluarkan anak-anak mereka seperti para kucing melakukannya? Agar tidak terasa sakit?" 

Tawa paman Raku yang serak seketika membahana. Air mata bahkan keluar dari kedua matanya, mendengar pertanyaan Bubu yang begitu naif namun menggelikan. 

"Yang ingin kuketahui, apa yang sedang kau lakukan di rumah para ayam? Kau mengendap-endap di sana hanya untuk melihat mereka bertelur?" 

"Telur? Apa itu?" 

"Telur adalah benda bulat bercangkang yang sedang kau tanyakan" paman Raku berhenti sejenak untuk menyambung tawanya yang terputus. Bubu kebingungan di hadapannya, tidak mengerti apa yang membuat paman Raku tertawa seperti itu 

"Bubu, para ayam memang tidak melahirkan anak-anaknya dengan cara yang sama seperti kucing. Mereka mengeluarkan telur dari diri mereka, lalu mengeraminya selama 3 minggu agar anak-anak mereka terbentuk secara sempurna dan mampu keluar dari cangkang telurnya" 

"Apa ibu mereka akan menyusui anak-anaknya? Apa para ayam akan menjilati tubuh anak-anaknya untuk membersihkan mereka?" 

"Tidak, Nak. Ayam tidak melakukan itu"

"Hah! Sudah kuduga! Ibu mereka pasti ibu yang sangat buruk. Mereka tidak menyayangi anak-anaknya seperti ibuku! Mereka bahkan tidak menyusui anak-anaknya" Bubu mengangkat dagunya dengan penuh kepuasan.

"Begitukah menurutmu?" 

"Tentu saja! Tidak ada hewan yang lebih baik di hutan ini ketimbang ibuku, Paman. Burung-burung meletakkan sarang mereka tinggi di atas pohon, tanpa memikirkan kemungkinan jika sarang itu tidak cukup kokoh dan terjatuh ke tanah sementara bayi-bayinya ada di dalam sana. Lalu lihatlah para gajah. Mereka sama sekali tidak cakap. Gajah hanya mampu melahirkan satu bayi setiap kalinya, dan memerlukan sekawanan gajah lain untuk melindungi bayi itu. Berbeda sekali dengan ibuku yang mampu melahirkan banyak anak dan menjaga mereka sekaligus" 

Paman Raku menunggu ocehan Bubu selesai dengan senyum di wajah. Ketika dirasa olehnya Bubu sudah selesai, dia menyambung "Maka pasti begitu pula pandanganmu terhadap sepupu jauhku, para penyu laut" 

"Penyu laut?"

"Ya, Bubu. Penyu laut. Mereka hidup di samudra lepas. Berenang mengarungi lautan yang biru dan indah, tapi akan naik ke pantai ketika mereka harus bertelur. Para ibu penyu akan menggali pasir pantai, memasukkan telur-telurnya di sana, mengubur telur-telur itu dengan pasir, lalu pergi. Kembali ke lautan tanpa menoleh lagi"

Bubu terkesiap "Betulkah mereka melakukan itu? Jahat sekali! Seharusnya mereka menunggui anak-anaknya! Orang tua harus selalu ada di sisi anak mereka bukan? Lalu apa yang terjadi selanjutnya paman? Bagaimana jika telur-telur itu telah berubah menjadi anak penyu?" 

"Mereka akan keluar dari cangkang, menggali-gali pasir dengan kaki-kaki mungilnya, dan pergi menuju laut. Para anak penyu itu harus melawan ombak yang menggiring mereka kembali ke pantai. Tapi tidak ada yang menyerah. Semua begitu gigih untuk mencapai perairan..."

"Tapi itu kejam sekali!" Bubu menyela sebelum paman Raku selesai "Mereka kan masih anak-anak! Siapa yang tega melakukan itu pada bayi-bayi kecil?" 

Paman Raku kembali terkekeh. Inilah kenapa dia menyukai mengajar hewan-hewan muda. Mereka selalu begitu bersemangat, begitu ingin tahu, dan tidak ragu mengemukakan pendapatnya. 

"Berapa umurmu, Bubu?" 

"Kenapa paman menanyakannya?" 

"Jawablah saja"

"Aku akan menjadi tiga bulan sebentar lagi" jawab Bubu setelah berpikir. 

"Baiklah kalau begitu. Kembalilah kau pulang ke rumahmu sekarang. Dan temui aku ketika usiamu sudah lewat tiga bulan. Pada saat itu, aku akan memiliki jawaban atas keingintahuanmu" 

"Kenapa begitu? Kenapa tidak memberitahu sekarang saja?"

"Karena kau akan lebih memahami segalanya nanti. Dengar, Bubu. Kau adalah anak yang cerdas. Aku menyukaimu" Bubu tersenyum bangga mendengar pujian itu "Tapi kau membutuhkan waktu untuk dapat mengerti dunia di sekitarmu. Nanti, Nak. Kembalilah setelah usiamu lewat tiga bulan. Dan aku akan mengatakan segala yang ingin kau ketahui" 

Paman Raku tidak ingin dibantah. Dan membuat Bubu pergi dengan kecewa. Dalam hatinya dia bersungut-sungut, merasa paman Raku belum menganggapnya cukup dewasa. "Aku adalah kucing yang cerdas. Aku bisa mengerti segala hal yang dia katakan. Kenapa harus menunggu nanti" batin Bubu. Meski begitu, Bubu menurut. 

Ketika usia Bubu sudah melewati tiga bulan, dia kembali ke danau. Seperti biasa, paman Raku sedang bertengger di atas batu kesayangannya di tepian. Namun kali ini Bubu datang dengan langkah kaki yang gontai tanpa semangat. Wajah Bubu menunduk, pundaknya turun dan suasana hatinya sedang tidak baik.

"Ah, ini dia anak kucing favoritku. Akhirnya kau kembali. Kukira kau marah hingga melupakan janji kita, Nak" sapa paman Raku.

Bubu, tidak seperti biasanya, kehilangan keceriaannya. Dia mengangkat keempat kakinya seolah kaki-kaki itu terbuat dari kayu yang berat. Tepat di rumput tepian danau, Bubu menjatuhkan diri, dan duduk bergelung tanpa suara. 

"Ada apa denganmu, Nak? Seseorang berusaha mencuri ekormu?" paman Raku bergerak dari batunya, mengambil tempat di samping Bubu yang tak bersemangat. 

"Aku sedang tidak ingin bercanda, Paman" jawab Bubu dalam gumaman.

"Katakan padaku kalau begitu. Apa yang membuatmu murung?" 

"Ibuku pergi. Pergi begitu saja meninggalkan sarang. Tidak mengajak satu pun dari kami" 

Paman Raku mengangkat kepala mendengar berita ini. Tapi bukan karena terkejut. 

"Jadi dia sudah pergi?" 

"Apa maksud paman? Paman tahu dia akan pergi?" kali ini Bubu menoleh. 

"Bubu, aku berjanji kepadamu saat terakhir kali kita bertemu, bahwa aku akan menjelaskan banyak hal yang tidak kau mengerti, bukan?" 

Bubu mengangguk lemas. 

"Maka dengarkanlah baik-baik" 

Paman Raku memastikan Bubu memperhatikannya, kemudian memulai. 

"Bubu, seekor kucing betina dewasa akan segera pergi meninggalkan anak-anaknya setelah dia rasa anak-anaknya cukup mampu mengurus diri mereka sendiri. Ibumu tidak akan berada di sampingmu selamanya. Pada satu waktu, dia akan pergi, membentuk keluarga yang baru. Aku tahu dia tidak akan berada bersamamu selama lebih dari tiga bulan"

"Apa maksud paman dengan keluarga baru?" Bubu mengangkat tubuhnya, tidak terima mendengar fakta bahwa ibunya mungkin telah berada jauh bersama anak-anak lain yang lebih elok dan lebih dicintai.

"Begitulah kenyataannya, Nak. Ibumu akan bertemu kucing lain, mengandung adik-adikmu yang selanjutnya, membesarkan mereka hingga cukup kuat, lalu akan kembali pergi meninggalkan mereka, sama seperti dia meninggalkanmu sekarang. Itulah takdir bagi para kucing. Ibumu telah merawatmu beserta saudara-saudaramu dengan penuh kasih sayang dan mempersiapkan kalian untuk menghadapi dunia, agar kalian bisa bertahan sepeninggalnya. Bukankah selama beberapa waktu terakhir dia sudah menunjukkan padamu cara berburu dan mencari makan?" 

Bubu mengingat-ingat, lalu dengan mencelos, dia mengangguk. Paman Raku tersenyum.

"Itu karena dia ingin memastikan kalian bisa mandiri. Suatu hari nanti kau pun akan berada dalam posisinya. Kau akan bertemu pasanganmu, memiliki anak-anakmu, kemudian pergi dari mereka. Begitulah adanya. Kucing tidak tinggal bersama kawanan yang sama hingga akhir hayat, Nak" 

"Tapi..." Bubu kehilangan kata-kata. Dia sama sekali tidak mengerti. Ibu yang selama ini dibanggakannya, yang dia kira tidak akan pernah meninggalkan dirinya, ternyata tega melakukan hal ini. Bubu merasa sedih, sekaligus malu. Malu karena dia pernah mengejek ibu-ibu binatang lain atas perlakuan mereka pada anak-anaknya. Tanpa dia ketahui bahwa ibunya pun memiliki garis takdir seperti ini. 

"Bubu, kurasa kau sudah cukup besar sekarang. Kau tidak perlu merasa malu. Terakhir kali kau datang kepadaku, kau memang belum mengetahui apa-apa. Tidak ada yang akan menyalahkanmu. Tapi sekarang, aku akan menjelaskan bagaimana binatang-binatang di hutan ini menjalani kehidupan mereka. Kuharap kau mau memperhatikan dan menyerap pesan yang akan kuberikan" 

Melihat Bubu tidak bereaksi, paman Raku melanjutkan. 

"Setiap binatang memiliki takdirnya sendiri. Persis seperti yang kau katakan tentang diriku. Aku ditakdirkan menjadi hewan yang bergerak dengan lambat. Tapi itu bukan masalah, karena aku membawa rumahku kemana-mana. Jadi tidak ada perlunya aku bergegas. Tidak ada sarang yang perlu kudatangi karena sarangku selalu bersamaku sepanjang waktu. Berbeda dengan keluargamu, bukan?"

"Begitu juga dengan para ayam. Mereka mengeluarkan anak-anak dalam bentuk telur. Tapi tahukah kau? Ibu mereka harus tinggal bersama telur-telur itu dalam waktu yang lama, mengerami mereka, memastikan telur-telurnya mendapatkan suhu yang tepat. Ibu ayam hampir tidak bisa makan selama mengerami anak-anaknya. Dia harus berpuasa dan menahan lapar. Itu sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh para kucing. Bukan urusanmu bagaimana anak-anak itu dilahirkan. Yang penting adalah, mereka lahir sebagai anak-anak yang dicintai" 

"Gajah yang besar hanya mampu melahirkan satu orang anak, tapi tahukah kau? Ibunya akan membersamai anak itu selama tiga tahun pertama kehidupannya. Bukan tiga bulan. Kau berkata dia tidak cakap, tapi rupanya dia ibu yang sangat mengasihi anaknya, dan penjaga yang sangat baik. Oh ya aku serius, Nak. Jangan pernah coba-coba mengganggu anak gajah kalau kau tidak ingin tergencet kaki-kaki ibunya yang besar itu" 

"Burung sengaja meletakkan sarang mereka di atas pohon yang tinggi agar sarang dan anak-anak mereka terlindung dari pemangsa di tanah. Lagipula, anak-anak burung itu tidak akan tumbuh dewasa dengan berjalan. Mereka akan terbang di langit, Nak. Maka pohon-pohon yang tinggilah tempat mereka, agar anak-anak burung bisa belajar menjemput takdirnya" 

"Sepupu jauhku, si penyu laut, memang tidak menunggui kelahiran anak-anaknya. Akan kukatakan kenapa. Telur-telur penyu adalah santapan yang sangat lezat bagi beberapa hewan lain. Menunggui lubang telurnya hanya akan membuat para pemangsa mengetahui dengan benar di mana telur-telur itu disimpan. Dengan gerakan yang lamban di darat, penyu tidak akan berbuat banyak jika pemangsa datang. Tapi dengan mengubur dan meninggalkannya tanpa tanda, ibu-ibu penyu telah memberi perlindungan dan kesempatan hidup yang lebih besar pada anak-anaknya. Kau ingat saat itu kau berkata mereka adalah ibu yang kejam?" 

"Tidak ada ibu yang kejam di dunia ini, Bubu. Semua ibu ingin melindungi anak-anaknya. Tapi mereka tidak harus melakukannya dengan cara yang sama. Kau, pada saat itu, tidak mengetahui soal ini sehingga mengatakan hal-hal yang tidak sepatutnya mengenai mereka. Karena kau sampai hari itu hanya berkecimpung di dunia para kucing. Kau menilai binatang lain menggunakan standar yang digunakan kucing. Di situlah kesalahanmu" 

"Para binatang menjalani takdir mereka masing-masing, Nak. Tidak ada yang sama antara satu dengan yang lain. Tugasmu adalah menjalani kehidupanmu dengan baik, tanpa mengurusi bagaimana hidup binatang lain dijalani. Kau tidak akan bisa menilai dengan benar jika tidak menjalani kehidupan mereka. Tidak mungkin kau akan bilang ikan adalah hewan yang kejam karena menenggelamkan anak-anak mereka di dalam air kan?" 

Bubu menggeleng cepat-cepat.

"Artinya kau sudah mengerti apa yang kumaksud" paman Raku tersenyum bijak.

Bubu terpekur di tempatnya. Kedua daun telinganya susut, dengan ekor yang terkulai. 

"Aku telah mengatakan hal-hal yang sangat buruk. Rasanya aku malu sekali" 

"Kesombongan terkadang membuat kita lengah, Bubu. Kita menganggap hidup kita sempurna hingga mengira kehidupan binatang lain cacat karena tidak menjalani apa yang kita jalani. Padahal masalah sebenarnya ada pada mata kita sendiri"

"Jadi janganlah bersedih lagi. Bergembiralah. Mungkin ibumu tidak akan kembali, tapi mulai hari ini kau adalah kucing dewasa yang mandiri dan kuat. Pergilah menjemput petualanganmu sendiri. Siapa yang tahu kau mungkin bertemu kucing jantan yang cukup menarik nanti" 

"Jangan menggodaku Paman" Bubu tersipu malu. 

Kedua hewan yang berbeda itu pun tertawa bersama. Danau terlihat begitu indah hari ini bagi Bubu, karena dia sudah bisa memandang segalanya dengan mata yang baru. Mata yang lebih jernih dalam menilai. Dalam hati Bubu berjanji untuk tidak akan lagi mengatakan hal-hal buruk mengenai kehidupan binatang lain yang berbeda dari dirinya, dan tidak akan lagi menyombongkan diri sendiri. Bubu ingin memiliki banyak sekali teman. Dia ingin berteman dengan gajah, burung, ayam, dan mungkin dengan penyu laut jika Bubu cukup beruntung untuk bertemu dengan salah satu di antaranya. Agar dia bisa mengetahui banyak hal, dan menjadi bijak seperti paman Raku. 

"Terima kasih paman Raku" 


Ellen Thiastiane
280318
19.40


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar