Kenapa judulnya trip kenegaraan?
Karena ini perjalanan untuk sambang keluarga. Bukan untuk senang-senang
sendiri. Dan seperti perjalanan resmi lainnya, trip seperti ini selalu nggak
jelas di awal apakah akan menyenangkan atau menyebalkan.
![]() |
Icon perjalanan |
Jadi ceritanya, saya sendiri pun
nggak begitu kenal dengan keluarga di sana kecuali sama kakak kandung sendiri.
Disebabkan karena saya diadopsi oleh orang tua angkat sejak usia 2 bulan. Dan
di Lumajang ini adalah tempat keluarga dari ibu kandung saya tinggal. Itulah
kenapa saat di awal perjalanan saya nggak tahu bakal seperti apa situasinya di
sana nanti. Apa mereka akan senang karena saya datang, atau malah judging karena selama ini saya nggak
pernah ke sana.
Emang sih, terakhir kali saya ke
Lumajang itu kira-kira waktu masih umur 7 atau 8 tahun. Jadi udah lebih dari 20
tahun lalu. Kakak ipar saya selalu cerewet setiap kali dia berkunjung ke
Malang. Nyuruh-nyuruh untuk main ke sana. Nah kebetulan, Sabtu lalu adalah
waktu yang cocok. Jadilah saya ngajakin suami, ibu mertua, dan adik ipar untuk jalan
ke Lumajang sama-sama biar rame. (Sekaligus biar nggak jiper ngadepin keluarga
besar di sana. Apalagi ibu mertua dan adik ipar kan tipe orangnya ‘rame’. Suka
cerita, suka ngobrol, gampang buka pembicaraan. Nggak kayak saya dan suami yang
klop sama-sama nggak bisa basa basi).
Singkat cerita, berangkatlah kami
dari Malang jam 9.15 pagi. Loh, kok
siang banget? Bukannya tadi ditulis perjalanan pulang pergi dalam sehari? Iyeee
kan nunggu ibu mertua datang dari Krian dulu. Mereka berangkat dari sana
selepas subuh, tapi baru bisa sampai Malang kisaran jam 8 pagi walau udah lewat
tol. Gara-garanya ada macet panjang di jalur langganan macet Lawang –
Singosari. Habis itu masih makan pagi dulu. Jadilah kami baru mulai perjalanan
saat matahari udah lumayan tinggi.
![]() |
Perbatasan Kab. Malang - Kab. Lumajang. |
![]() |
Jalan masuk ke Goa Tetes |
Karena rumah kakak ini ada di
wilayah desa Yosowilangun Kidul yang notabene adalah Lumajang selatan paling
timur (perbatasan dengan Jember), tentu kami ambil jalur selatan lewat Dampit.
Kontur jalanan yang berkelok-kelok khas daerah perbukitan sempat bikin saya
grogi karena si Pimon biasanya akan mual. Sejak sebelum berangkat, tuh bocah
udah saya siram pake minyak kayu putih banyak-banyak, terus dikasih antimo dan
tolak angin anak. Walhasil, perjalanan baru sampai wajak dia udah molor
sodara-sodaraaaa. Padahal jalanan di sana masih lurus dan datar.
Eh giliran masuk Dampit dia melek
donk.
Bolak balik saya bilangin :
“kalau mual, atau pusing atau nggak enak badan bilang ya”.
Yang diikuti dengan : “kalau
muntah, di papa aja. Soalnya mama nggak bawa baju ganti”.
Ups!
Untungnya walau dia sempat panas dingin gara-gara mobil yang terus mliyat-mliyut dihajar kontur jalanan, si Pimon nggak sampai muntah.
Dua kali kami sempat berhenti supaya dia bisa kena angin segar. Yang pertama
saat baru masuk daerah Pronojiwo, dan kedua, tentu aja, di seputar jembatan
Gladak Perak, Piket Nol yang femes
itu.
Adik-adik ipar saya, yang belum
pernah ngelewati jalanan Malang – Lumajang, ngotot minta foto-foto dulu di
Piket Nol. Mereka terkesima lihat truk-truk penambang pasir/batu di kanal lahar
yang dari atas jembatan Gladak Perak Baru kelihatan mini. Adik yang paling
kecil juga sibuk ber-ahh-ohhh saat lihat pemandangan bukit-bukit dan jurang.
Maklum, di Krian adanya cuma Ramayana. Hahaha. Jahat banget ya. Tapi emang
bener kok. Orang Krian kalau mau lihat pemandangan gunung ya tujuannya cuma ke
Pacet, Mojokerto. Karena cuma di sana yang dekat. Beda donk dengan anak Malang
yang ke barat gunung, ke timur gunung, ke selatan gunung, ke utara macet ini.
Eaaaaa *kibas poni*.
![]() |
Jembatan Gladak Perak Baru |
![]() |
Kanal aliran lahar dingin dari Semeru tepat di bawah jembatan Gladak Perak Baru |
![]() |
Jembatan Gladak Perak lama yang sudah tidak difungsikan |
![]() |
Dari jauh kelihatannya seperti jembatan menembus tebing |
Akhirnya kami baru sampai di
kediaman kakak saya tepat jam 2 siang. Bener-bener deh. Some trip. Si Pimon aja
sampai ketiduran lagi begitu masuk Pasirian. Sementara yang orang dewasa pada
kelaparan. Untunglah pemandangan meja makan rumah kakak saya sungguh
menentramkan hati. Sampai terharu karena kakak ipar rupanya bela-belain
nyembelih ayam kampungnya buat kami. Saya, yang sudah hapal kebiasaan orang di
desa, cukup ambil separuh centong nasi. Tapi adik-adik ipar dan pak suami –
yang sebenarnya juga udah ku-sounding juga
soal ini tapi rupanya udah lupa karena perut keroncongan – malah ngambil
makanan dengan porsi normal. Maklum juga sih, emang udah lewat jam makan siang.
Masalahnya, di desa itu ada satu kebiasaan.
Kalau punya 10 saudara, maka kamu akan diajakin makan di 10 rumah. Ada 5 rumah
yang dikunjungi, maka akan diajakin makan di 5 rumah juga. Begitulah.
Jadi setelah lewat Ashar kami
mulai keliling ke saudara-saudara yang lain, adik-adik iparku melongo karena di
mana-mana disuruh makan. Hahaha. Saya cuma bisa nyuruh mereka menabahkan hati
sambil bilang “Ambilah barang satu dua sendok, yang penting makan. Biar yang
udah masak nggak kecewa”. Oh plus ngetawain juga sih. Habis ekspresi mereka
lucu banget waktu kekenyangan.
Beneran deh Tuhan Maha Adil. Kami
yang dalam perjalanan sempat kelaparan, ternyata langsung dibayar kontan di
tujuan dengan makanan berlimpah.
![]() |
Ronde ke 4 |
Ngomong-ngomong, seperti yang
sempat disebut di awal, bahwa saya nggak
begitu kenal saudara-saudara di sana. Jadi begitu ada banyak yang nyambut, saya
harus narik-narik baju kakak dulu untuk ngebisik “Ini siapa? Itu siapa? Kalau
yang itu anaknya siapa?”. Bahkan saat ada kakak sepupu yang pembawaannya ramah
dan langsung ngajakin ngobrol ini itu, saya sempat melempar pandangan “I don’t even know who she is” pada pak
suami.
Di kunjungan kemarin jugalah saya
baru tahu bahwa saya masih punya nenek dari pihak ibu. And that Pimon still has a great grandma. So silly, isn’t it? Tapi Alhamdulillah kunjungan kami ke sana
ternyata cukup menyenangkan. Pimon? Jangan ditanya. Girang banget karena bisa
ngasih makan ayam dan bebek, juga bermain-main sama saudara-saudara kecil yang
seumuran. Give her animals to be fed or toys
she can play together with another toddler, and she’ll be all set. No single
complain would ever come out of her mouth. What a simple life!
Berhubung ada begitu banyak
saudara yang perlu dikunjungi dalam waktu singkat, kami baru bisa pulang
kembali ke Malang pada jam 20.00 malam. Padahal waktu berangkat udah
dicita-cita mau pulang jam 4 sore aja biar nggak kemalaman, dan biar bisa
mampir beli durian di penjual yang tersebar di sepanjang perjalanan masuk
Lumajang. Yo jelas mustahal wal
mustahil itu.
Oleh kakak ipar, mobil kami ditemani
hingga masuk jalanan Jalur Lintas Selatan supaya bisa langsung bablas ke Piket Nol tanpa perlu memutar
lewat daerah Kerai, Kunir, Tempeh dan Pasirian. Enak sih jalannya luruuussss
aja. Tapi malam itu sepiiiiii banget. Mana nggak ada penerangan jalan lagi (sepertinya
belum selesai penggarapan, karena ada bagian jalan yang sepanjang kurang lebih
1 km masih berupa jalanan sirtu). Padahal malam minggu loh itu. Rumah-rumah di
pinggir jalan juga pada tutup, nggak ada sedikit pun orang nongkrong. Saat kami
jalan, hampir nggak ada mobil / kendaraan roda empat yang searah dengan kami.
Hanya ada satu - dua truk yang berjalan ke arah berlawanan, dan beberapa motor.
Oh ada sih anak-anak cowok nongkrong di satu titik, pada mau balapan kayaknya.
Selain itu? Cuma ada seorang
tukang bakso pakai motor yang berhenti di kegelapan. Sumpah. Di tengah-tengah
jalur lintas selatan yang gelap pekat tanpa lampu. Sendirian tanpa pembeli yang
menemani. Antara motornya bocor di tengah-tengah jalur creepy begitu atau emang dia lagi nunggu langganan yang biasa pesan
“Bang.... baksonya seratus mangkok.... hihihi”
Begitu kami keluar dari jalur
lintas selatan dan kembali memasuki peradaban manusia, hujan pun turun. Semakin
deras saat memasuki daerah Candipuro, makin berkabut di daerah Piket Nol, dan
baru berhenti setelah memasuki wilayah Ampelgading. Duduk sampai nggak rileks.
Tahu kan di piket nol itu nggak ada penerangan padahal jalanannya ada di perut
gunung. Kanan tebing, kiri jurang. Mata yang ngantuk pun nggak dirasa lagi.
Begitu sampai Ampelgading, kami
berhenti di sebuah warung kopi yang masih buka. Waktu itu jam udah menunjukkan
pukul 23.00 malam. Hujan tersisa rintik-rintik, bikin si Pimon rewel minta
cepat pulang. Padahal ini hot chocolate
masih umeb di gelas! (Should be called boiled chocolate instead of
hot chocolate). Saat sedang nyruput minuman panas pelan-pelan, pandangan
saya jatuh pada lukisan di dinding warung. Gambar seorang anak berambut kriwul
yang sedang memegang gelas. Image itu masih terbayang-bayang di
kepala hingga sekarang. Cek aja di bawah, dan kalian akan mengerti kenapa.
Kami baru touch down di kota Malang kisaran jam 01.00 dini hari, hari Minggu.
Punggung dan pinggang rasanya mrotol
jaya. Saya sendiri baru bisa tidur jam 02.00 setelah bersih-bersih rumah,
ngegantiin diaper bapak, dan nyuci
baju. Tidur malam itu benar-benar luar biasa rasanya. Kayak pingsan begitu
nyentuh bantal. Tapi baruuuuu aja sedetik terlelap (atau rasanya seperti
sedetik), ternyata pagi udah menjelang.
Maan ... belum juga ngimpi.