Beberapa bulan lalu salah seorang teman bilang : “mbak,
gabung grup KBM donk. Itu grup kepenulisan. Foundernya seorang penulis terkenal dan suaminya”
Penasaran, saya coba-coba ngintip ke sana. Waktu pertama
baca peraturan grup, saya lihat ada peraturan yang menyebutkan bahwa setiap
anggota diharapkan untuk berani berpartisipasi mengirimkan karya
sekaligus aktif memberi kritik dan saran pada sesama penulis. Sebagai bentuk
pembelajaran, katanya.
Sejujurnya, waktu baca peraturan yang itu kening saya
mengernyit. Agak nggak sreg. Karena yang bergabung di sana kan bukan semuanya
penulis profesional (kalau nggak bisa dibilang mayoritas adalah penulis pemula
yang masih belajar). Kritik dari orang yang berpengalaman dan memiliki kredibilitas,
hampir bisa dipastikan adalah kritik yang membangun dan obyektif. Tapi jika
diberikan oleh sesama pemula, saya khawatir akan melenceng dari tujuan
pembelajaran. Bisa jadi itu hanya berupa hujatan subyektif, atau tudingan yang
hanya berdasarkan pada kedengkian atau rasa iri hati.
Bagi saya, sebuah kelas baru bisa disebut kelas ketika ada
guru yang mengajar. Bukan sesama murid yang berkumpul untuk saling mengoreksi.
Tapi ya weslah, kan memang begitu peraturannya dari para
founder. Mungkin mereka punya pertimbangan yang lebih jauh ketimbang pemikiran
saya yang jelata ini.
Jaaaaadddiiiiiii saya pun bergabung.
To my surprise,
nyatanya kekhawatiran itu sama sekali nggak terbukti.
Kenapa? Begitu baguskah karya-karya di sana hingga nggak ada
yang mengundang hujatan tak berdasar?
Hehehe ... tentu tidak.
***
Selama beberapa bulan bergabung, saya mengamati
kecenderungan para pembaca dan komentator. Dan penelitian saya bermuara pada
satu kesimpulan. Bahwa kebanyakan pembaca di grup ini berperilaku seperti
almarhumah Mama saat lagi nonton sinetron. Alih-alih memberi kritik dan saran
yang obyektif, mereka biasanya malah ikut terhanyut dalam cerita yang
disuguhkan. Ikut bersedih bagi tokoh protagonis, ikut menyalahkan kelakuan
karakter antagonis, membubuhkan kisah pribadi pada naskah yang mirip (atau
dimirip-miripkan dengan kisah pribadi), atau malah menanyakan perihal jalan
cerita pada sang author.
“Kasian ya si Upik Abu. Kalau aku jadi dia juga pasti nggak
tahan digituin terus. Mending pulangkan saja aku pada orang tuaku. Hiks...
hiks..”
“Gemesssss sama kelakuannya Cendol Darodol! Harusnya dia
yang nyungsep ke got, ketiban gerobak ketoprak, trus bisulan sampai segede
gajah beranak! Benci benci benciiiiii!!!!!”
“Cerita ini mirip banget sama diriku. Minjemin uang teman
karena kasihan, tapi begitu nagih malah aku yang ngemis. Gitu deh nasib orang
baik. Makanya kalau sekarang ada yang mau pinjam, aku suruh sekolahin aja BPKB
ke BPR atau koperasi. Hora sudi minjemin uang lagi” (orang baik tapi kok mendorong
orang lain ke jurang riba. Wkwk loudly)
“Loh, kok si
Cintralala jadian sama Ranggrandong sih? Harusnya sama Memetamen aja. Gimana
nih author? Si Ranggrandong itu kan playboy cap minyak tanah. Jadi nggak greget
deh ceritanya”
Dan sebagainya ... dan seterusnya ...
Sementara pembaca sisanya, hanya membubuhkan komentar irit
berupa “jejak” atau “next” atau “jjk” (menandakan mereka suka dengan postingan
tersebut, ingin tahu kisah kelanjutannya, tapi terlalu malas berkomentar
panjang lebar).
Kesimpulan : grup adem ayem karena memang nggak ada
kritik. Bukan karena seluruh postingan jempolan banget hingga lolos screening kritik. Penyebabnya ya itu
tadi. Karena semua murid. Jadi nggak ada yang mumpuni memberi kritik.
Apakah itu terjadi 100% pada seluruh postingan? Nggak. Masih
ada orang-orang baik hati yang sudi meluangkan waktu untuk memberi masukan pada
postingan-postingan tertentu. Walau mereka mencoba untuk menulis dengan
kata-kata santun (kecuali kalau ada yang udah parah banget nggak tertibnya soal tanda baca, biasanya yang begini langsung disemprot banyak orang). Sayangnya, ini nggak terjadi terlalu sering. Dan kritikan
santun ini biasanya ‘kalah’. Tenggelam oleh komentar a la penikmat sinetron di
atas.
Sesungguhnya saya berharap para penulis profesional yang
juga ada di grup itu mau memberikan masukan pada tulisan para anggota pemula.
Tapi saya mencoba berpikiran positif bahwa mereka ini juga manusia yang punya
pekerjaan dan kesibukan di dunia nyata sehingga nggak punya waktu untuk
memelototi satu per satu setiap postingan yang masuk (walau sungguh, saya
berharap sebaliknya).
Sampai hari itu, grup ini cukup mengecewakan bagi saya. Hampir
nggak ada ilmu baru yang bisa saya dapatkan dari sana kecuali soal Elipsis yang dengan baik hati telah
dibagikan oleh seorang penulis berpengalaman.
*Note : Harap diingat saya baru bergabung selama beberapa
bulan. Jika sebelum masa saya bergabung ada ribuan ilmu lain yang telah
tertuang di sana, tentu saya tidak tahu menahu. Penilaian ini hanya sebatas
masa-masa di mana saya telah bergabung menjadi anggota.*
***
Lalu, tanpa diduga tanpa dinyana.
Tiba-tiba saja negara api sebuah akun yang
menamakan dirinya KBM kritik
menyerang.
Dia muncul out of the
blue dengan daftar cerbung yang mendapat ribuan likes dan meminta
partisipasi seluruh anggota untuk berani mereview. Dalam postingan itu pula si
pemilik akun memberikan reviewnya bagi salah satu judul. Tanpa tedeng
aling-aling, dia memuji dan memaki. Dia mengangkat dan menjatuhkan. Dia
tunjukkan mana kelemahan, dan mana kelebihan. Dia bilang tanpa sungkan mana
karya yang pantas mendapatkan atensi publisher,
mana yang hanya sekedar versi lain dari sinetron tukang-siomay-naik-umroh-dengan-5.743-episode.
Mana tulisan yang pantas dikagumi, dan
mana yang hanya sekedar populer.
Seketika, jagad KBM heboh.
Dua orang penulis cerbung patah arang (jumlah mungkin masih
bisa bertambah mengingat hingga hari ini akun KBM kritik masih menyentuh
sedikit sekali naskah), kubu pro dan kontra kontan tercipta di kalangan
pembaca, dan ramai-ramai orang menerka siapakah sosok di balik akun misterius
ini.
Ini baru seru, pikir saya.
Para penggemar cerbung dari penulis yang memutuskan untuk
hengkang dan vakum melayangkan protes. Menyebut sumber hiburan mereka terhenti
hanya karena kritik ‘tidak bermutu’ yang diberikan oleh sebuah akun tak jelas.
Akun pengecut yang bahkan nggak berani menunjukkan jati diri.
Sementara di kubu seberang, orang-orang berebut ingin
direview karya tulisnya oleh KBM kritik.
Mereka menyatakan diri sebagai penulis pecinta kritik. Bahwa dikritik itu demi
kebaikan. Dan mereka butuh pelajaran dari orang yang berpengalaman. (walau saya
nggak yakin mereka nggak akan berputus asa seperti dua penulis sebelumnya kalau
karya mereka benar-benar habis dikritik)
Perseteruan ini sudah nggak ada bedanya dengan kubu kampret
cebong di dunia nyata. *ups!
***
Gimana dengan saya ?
Oh saya cenderung mendukung keberadaan KBM kritik di grup. Dia mengisi ruang kosong yang seharusnya telah
terisi sejak lama. Sebagai tambahan info, menurut pemilik akun ini – yang rupanya
sudah bergabung sejak bertahun lalu – KBM dulunya adalah sebuah wadah yang
dipenuhi pemikiran kritis. Tapi hal itu memudar seiring waktu hingga pada
akhirnya menjadi grup yang terombang ambil tanpa arahan dan bimbingan penulis
senior. Hal itulah yang membuatnya kembali dan menghidupkan lagi fungsi review.
Tapi meskipun sangat menyetujui apa yang dilakukan oleh KBM kritik, saya sendiri nggak terlalu terobsesi
oleh keberadaannya. Bagi saya, reviewnya pun nggak 100% undebatable. Seperti saat akun ini mengkritisi keputusan seorang
penulis untuk mengambil latar belakang negeri lain sebagai background kisahnya, dan bukannya Indonesia. Menurutnya, itu karena
si penulis malas meriset budaya dalam negeri. Begitu juga soal gaya penulis
yang terlalu ‘terjemahan’. Menurutnya pula, gaya bahasa seperti itu bukan
favorit pasar Indonesia.
Saya pernah baca novel Life of Pi. Karya dari Yann Martel yang
berkewarganegaraan Kanada. Kisah
buku ini menceritakan tentang kehidupan seorang bocah India beserta keseharian dan petualangannya. Lalu ada pula novel-novel
seperti Cleopatra’s Daughter, Nefertiti, dan Nefertari yang ditulis oleh Michelle
Moran yang berkewarganegaraan Amerika
Serikat. Buku-buku ini berkisah mengenai kehidupan Firaun wanita pada masa Mesir kuno.
Jadi soal penulis yang berasal dari negara X tapi menulis
mengenai kehidupan di negara Y, sama sekali bukanlah hal asing selama eksekusinya
bagus dan nggak ngawur. Lalu mengenai gaya penulisan yang terlalu
terjemahan, saya rasa nggak tepat juga kalau dibilang itu bukan pasar
Indonesia. Bukankah novel-novel terjemahan juga laris manis di negeri ini? Seri
Mr. Potter yang menghebohkan jagad raya termasuk Indonesia itu tulisan orang
mana memangnya?
Walau betul sekali, bahwa identitas Indonesia yang disajikan dengan indah adalah sebuah kekayaan literasi yang patut dipertahankan. Seperti gaya penulisan Andrea Hirata yang begitu berciri Melayu, contohnya. Tapi itu hanya gaya. Gaya adalah matter of taste bagi saya. Ada yang suka, ada yang nggak. Seperti musik aja. Bukan soal benar salah.
Walau betul sekali, bahwa identitas Indonesia yang disajikan dengan indah adalah sebuah kekayaan literasi yang patut dipertahankan. Seperti gaya penulisan Andrea Hirata yang begitu berciri Melayu, contohnya. Tapi itu hanya gaya. Gaya adalah matter of taste bagi saya. Ada yang suka, ada yang nggak. Seperti musik aja. Bukan soal benar salah.
Terlepas dari hal-hal di atas, kebanyakan saya setuju sih
dengan kritik-kritik yang diberikan oleh akun tersebut. Dan memang, kalau ingin
jadi penulis yang baik ya sedikit banyak harus bisa menerima kritik dan
masukan. Terkadang ada hal-hal yang nggak terpikirkan oleh diri kita, yang
kemudian muncul dalam kritikan orang. Ambil aja, masukkan dalam laci
perbendaharaan, gunakan sebagai amunisi untuk tulisan berikutnya. Lah kan emang
dari peraturan grup juga udah disebutkan harus sanggup dikritik dan mengkritik?
Seperti soal ide. KBM
kritik berkata bahwa terlalu banyak penulis di grup itu yang mengangkat
ide-ide basi. Persoalan menye-menye khas kesukaan emak-emak. Saya setuju. Dan
ini pula salah satu penyebab saya sangat jarang membaca tulisan-tulisan di grup
tersebut. Karena itu bukan jenis tulisan yang saya suka, meskipun adalah tema
populer. Persoalan ini bisa diatasi dengan mencontoh film-film remake. Ada banyak film lama yang
sesungguhnya sudah basi, tapi ketika di-remake
menjadi fresh karena diambil dari
sudut pandang yang berbeda.
Contohnya? Maleficent.
Kisah tentang putri tukang tidur adalah kisah basi. Cerita
lama sejak berabad lalu. Tapi film itu menyajikan point of view yang berbeda, yaitu dari sisi si peri jahat. Apa yang
membuatnya jadi jahat, apa yang membuatnya mengutuk si putri, kepahitan apa
saja yang dia alami hingga melakukan hal itu. See? Kisah lama, tapi dengan gaya
cerita baru. Jadi kalau pun ada penulis yang memang idenya hanya di seputar
hal-hal populer, cobalah untuk memutar sudut pandang. Agar ide lama tetap bisa
terasa baru.
Intinya, buka pikiran. Kosongkan gelas. Hilangkan persepsi. Perlakukan sebuah karya sebagai sebuah kesatuan utuh yang berada di luar tubuh kita. Saat ada kritik masuk, pandangilah karya tersebut. Putar-putar, bolak balik. Jika memang kritikan itu sanggup mengisi retak-retak halus pada karya, maka terimalah. Jangan jadikan sebuah karya sebagai bagian dari diri kita, yang kita bawa siang malam, yang kita timang sampai dini hari, hingga setiap saran dan masukan yang datang bahkan sanggup melukai diri kita secara personal pula.
Intinya, buka pikiran. Kosongkan gelas. Hilangkan persepsi. Perlakukan sebuah karya sebagai sebuah kesatuan utuh yang berada di luar tubuh kita. Saat ada kritik masuk, pandangilah karya tersebut. Putar-putar, bolak balik. Jika memang kritikan itu sanggup mengisi retak-retak halus pada karya, maka terimalah. Jangan jadikan sebuah karya sebagai bagian dari diri kita, yang kita bawa siang malam, yang kita timang sampai dini hari, hingga setiap saran dan masukan yang datang bahkan sanggup melukai diri kita secara personal pula.
***
Well, udah panjang
ya yang saya tulis? Haha.
Jadi apakah saya akan tertarik untuk menghabiskan lebih
banyak waktu di grup tulis menulis itu karena akun kritis ini muncul? Entah.
Mungkin nggak juga. Masalahnya, saya sendiri punya pekerjaan dan hobi. Saya
punya hobi membaca buku. Benar-benar buku. Bukan tulisan digital. Dan saya
sangat menikmati membaca buku bagus.
Saya juga sedang menulis. Benar-benar menulis naskah. Untuk
mencari keuntungan. Naskah yang sedang saya upayakan untuk bisa menembus
penerbitan mayor, no matter what it takes.
Lagipula, pasar grup KBM berbeda dari yang saya sasar. Selera pembaca yang
berbeda dengan idealisme saya membuat grup itu nggak terlalu potensial
digunakan sebagai lahan promosi. Bukan sekali dua kali pembaca di KBM berkata
bahwa mereka keberatan membaca cerbung yang harus berakhir dengan PO. Sementara
seperti yang saya tulis di atas, saya menyusun naskah untuk mencari keuntungan
materi (oh ya, saya nggak munafik soal ini, meskipun memang itu adalah bagian
dari hobi).
Tapi bukan berarti saya akan keluar juga. Toh masih
ada ilmu yang bisa didapat. Sejatinya ini grup yang bagus kok. Hanya
kurang partisipasi dari yang sudah berjam terbang tinggi. Hingga banyak peserta
yang bagai ayam tanpa kepala. Seruduk sana seruduk sini tanpa tahu jalan mana
yang harus ditempuh.
P.S :
Saya pernah mengkritik teknis penulisan seorang author yang sudah mendapat ribuan like. Bukannya diterima dengan pikiran terbuka, dia malah menjadi defensif. Inilah kekurangan penulis media sosial yang populer. Mereka terlena oleh ribuan like yang biasa didapatkan hingga menjadi sensitif terhadap masukan. Menurut mereka, ribuan like itu berarti ribuan pemuja. Hingga 1 kritikus hanyalah dianggap sebagai remahan sampah.
Saya pernah mengkritik teknis penulisan seorang author yang sudah mendapat ribuan like. Bukannya diterima dengan pikiran terbuka, dia malah menjadi defensif. Inilah kekurangan penulis media sosial yang populer. Mereka terlena oleh ribuan like yang biasa didapatkan hingga menjadi sensitif terhadap masukan. Menurut mereka, ribuan like itu berarti ribuan pemuja. Hingga 1 kritikus hanyalah dianggap sebagai remahan sampah.
Mereka lupa bahwa film-film superhero Marvel yang sukses
secara komersial nggak ada yang pernah diakui sebagai film terbaik di ajang
penghargaan seperti Academy Award atau Golden Globe Award. Film-film yang
diakui bagus oleh kritikus film yang mumpuni, justru biasanya bukanlah
film-film yang populer di pasaran.
Karena popularitas dan kualitas sesungguhnya bukanlah dua nilai
yang saling berkaitan.
Ellen Thiastiane