Entri yang Diunggulkan

Rabu, 31 Oktober 2018

TRIP KENEGARAAN : LUMAJANG


Kenapa judulnya trip kenegaraan? Karena ini perjalanan untuk sambang keluarga. Bukan untuk senang-senang sendiri. Dan seperti perjalanan resmi lainnya, trip seperti ini selalu nggak jelas di awal apakah akan menyenangkan atau menyebalkan. 

Icon perjalanan


Jadi ceritanya, saya sendiri pun nggak begitu kenal dengan keluarga di sana kecuali sama kakak kandung sendiri. Disebabkan karena saya diadopsi oleh orang tua angkat sejak usia 2 bulan. Dan di Lumajang ini adalah tempat keluarga dari ibu kandung saya tinggal. Itulah kenapa saat di awal perjalanan saya nggak tahu bakal seperti apa situasinya di sana nanti. Apa mereka akan senang karena saya datang, atau malah judging karena selama ini saya nggak pernah ke sana.

Emang sih, terakhir kali saya ke Lumajang itu kira-kira waktu masih umur 7 atau 8 tahun. Jadi udah lebih dari 20 tahun lalu. Kakak ipar saya selalu cerewet setiap kali dia berkunjung ke Malang. Nyuruh-nyuruh untuk main ke sana. Nah kebetulan, Sabtu lalu adalah waktu yang cocok. Jadilah saya ngajakin suami, ibu mertua, dan adik ipar untuk jalan ke Lumajang sama-sama biar rame. (Sekaligus biar nggak jiper ngadepin keluarga besar di sana. Apalagi ibu mertua dan adik ipar kan tipe orangnya ‘rame’. Suka cerita, suka ngobrol, gampang buka pembicaraan. Nggak kayak saya dan suami yang klop sama-sama nggak bisa basa basi).

Singkat cerita, berangkatlah kami dari Malang jam 9.15 pagi.  Loh, kok siang banget? Bukannya tadi ditulis perjalanan pulang pergi dalam sehari? Iyeee kan nunggu ibu mertua datang dari Krian dulu. Mereka berangkat dari sana selepas subuh, tapi baru bisa sampai Malang kisaran jam 8 pagi walau udah lewat tol. Gara-garanya ada macet panjang di jalur langganan macet Lawang – Singosari. Habis itu masih makan pagi dulu. Jadilah kami baru mulai perjalanan saat matahari udah lumayan tinggi. 

Perbatasan Kab. Malang - Kab. Lumajang.



Jalan masuk ke Goa Tetes



Karena rumah kakak ini ada di wilayah desa Yosowilangun Kidul yang notabene adalah Lumajang selatan paling timur (perbatasan dengan Jember), tentu kami ambil jalur selatan lewat Dampit. Kontur jalanan yang berkelok-kelok khas daerah perbukitan sempat bikin saya grogi karena si Pimon biasanya akan mual. Sejak sebelum berangkat, tuh bocah udah saya siram pake minyak kayu putih banyak-banyak, terus dikasih antimo dan tolak angin anak. Walhasil, perjalanan baru sampai wajak dia udah molor sodara-sodaraaaa. Padahal jalanan di sana masih lurus dan datar.

Eh giliran masuk Dampit dia melek donk.

Bolak balik saya bilangin : “kalau mual, atau pusing atau nggak enak badan bilang ya”.
Yang diikuti dengan : “kalau muntah, di papa aja. Soalnya mama nggak bawa baju ganti”.

Ups!

Untungnya walau dia sempat  panas dingin gara-gara mobil  yang terus mliyat-mliyut dihajar kontur jalanan, si Pimon nggak sampai muntah. Dua kali kami sempat berhenti supaya dia bisa kena angin segar. Yang pertama saat baru masuk daerah Pronojiwo, dan kedua, tentu aja, di seputar jembatan Gladak Perak, Piket Nol yang femes itu.

Adik-adik ipar saya, yang belum pernah ngelewati jalanan Malang – Lumajang, ngotot minta foto-foto dulu di Piket Nol. Mereka terkesima lihat truk-truk penambang pasir/batu di kanal lahar yang dari atas jembatan Gladak Perak Baru kelihatan mini. Adik yang paling kecil juga sibuk ber-ahh-ohhh saat lihat pemandangan bukit-bukit dan jurang. Maklum, di Krian adanya cuma Ramayana. Hahaha. Jahat banget ya. Tapi emang bener kok. Orang Krian kalau mau lihat pemandangan gunung ya tujuannya cuma ke Pacet, Mojokerto. Karena cuma di sana yang dekat. Beda donk dengan anak Malang yang ke barat gunung, ke timur gunung, ke selatan gunung, ke utara macet ini. Eaaaaa *kibas poni*.  

Jembatan Gladak Perak Baru

Kanal aliran lahar dingin dari Semeru tepat di bawah jembatan Gladak Perak Baru

Jembatan Gladak Perak lama yang sudah tidak difungsikan




Dari jauh kelihatannya seperti jembatan menembus tebing



Akhirnya kami baru sampai di kediaman kakak saya tepat jam 2 siang. Bener-bener deh. Some trip. Si Pimon aja sampai ketiduran lagi begitu masuk Pasirian. Sementara yang orang dewasa pada kelaparan. Untunglah pemandangan meja makan rumah kakak saya sungguh menentramkan hati. Sampai terharu karena kakak ipar rupanya bela-belain nyembelih ayam kampungnya buat kami. Saya, yang sudah hapal kebiasaan orang di desa, cukup ambil separuh centong nasi. Tapi adik-adik ipar dan pak suami – yang sebenarnya juga udah ku-sounding juga soal ini tapi rupanya udah lupa karena perut keroncongan – malah ngambil makanan dengan porsi normal. Maklum juga sih, emang udah lewat jam makan siang.

Masalahnya, di desa itu ada satu kebiasaan. Kalau punya 10 saudara, maka kamu akan diajakin makan di 10 rumah. Ada 5 rumah yang dikunjungi, maka akan diajakin makan di 5 rumah juga. Begitulah.

Jadi setelah lewat Ashar kami mulai keliling ke saudara-saudara yang lain, adik-adik iparku melongo karena di mana-mana disuruh makan. Hahaha. Saya cuma bisa nyuruh mereka menabahkan hati sambil bilang “Ambilah barang satu dua sendok, yang penting makan. Biar yang udah masak nggak kecewa”. Oh plus ngetawain juga sih. Habis ekspresi mereka lucu banget waktu kekenyangan.

Beneran deh Tuhan Maha Adil. Kami yang dalam perjalanan sempat kelaparan, ternyata langsung dibayar kontan di tujuan dengan makanan berlimpah.

Ronde ke 4

Ngomong-ngomong, seperti yang sempat  disebut di awal, bahwa saya nggak begitu kenal saudara-saudara di sana. Jadi begitu ada banyak yang nyambut, saya harus narik-narik baju kakak dulu untuk ngebisik “Ini siapa? Itu siapa? Kalau yang itu anaknya siapa?”. Bahkan saat ada kakak sepupu yang pembawaannya ramah dan langsung ngajakin ngobrol ini itu, saya sempat melempar pandangan “I don’t even know who she is” pada pak suami.

Di kunjungan kemarin jugalah saya baru tahu bahwa saya masih punya nenek dari pihak ibu. And that Pimon still has a great grandma. So silly, isn’t it? Tapi Alhamdulillah kunjungan kami ke sana ternyata cukup menyenangkan. Pimon? Jangan ditanya. Girang banget karena bisa ngasih makan ayam dan bebek, juga bermain-main sama saudara-saudara kecil yang seumuran. Give her animals to be fed or toys she can play together with another toddler, and she’ll be all set. No single complain would ever come out of her mouth. What a simple life!

Berhubung ada begitu banyak saudara yang perlu dikunjungi dalam waktu singkat, kami baru bisa pulang kembali ke Malang pada jam 20.00 malam. Padahal waktu berangkat udah dicita-cita mau pulang jam 4 sore aja biar nggak kemalaman, dan biar bisa mampir beli durian di penjual yang tersebar di sepanjang perjalanan masuk Lumajang. Yo jelas mustahal wal mustahil itu.

Oleh kakak ipar, mobil kami ditemani hingga masuk jalanan Jalur Lintas Selatan supaya bisa langsung bablas ke Piket Nol tanpa perlu memutar lewat daerah Kerai, Kunir, Tempeh dan Pasirian. Enak sih jalannya luruuussss aja. Tapi malam itu sepiiiiii banget. Mana nggak ada penerangan jalan lagi (sepertinya belum selesai penggarapan, karena ada bagian jalan yang sepanjang kurang lebih 1 km masih berupa jalanan sirtu). Padahal malam minggu loh itu. Rumah-rumah di pinggir jalan juga pada tutup, nggak ada sedikit pun orang nongkrong. Saat kami jalan, hampir nggak ada mobil / kendaraan roda empat yang searah dengan kami. Hanya ada satu - dua truk yang berjalan ke arah berlawanan, dan beberapa motor. Oh ada sih anak-anak cowok nongkrong di satu titik, pada mau balapan kayaknya.

Selain itu? Cuma ada seorang tukang bakso pakai motor yang berhenti di kegelapan. Sumpah. Di tengah-tengah jalur lintas selatan yang gelap pekat tanpa lampu. Sendirian tanpa pembeli yang menemani. Antara motornya bocor di tengah-tengah jalur creepy begitu atau emang dia lagi nunggu langganan yang biasa pesan “Bang.... baksonya seratus mangkok.... hihihi”

Begitu kami keluar dari jalur lintas selatan dan kembali memasuki peradaban manusia, hujan pun turun. Semakin deras saat memasuki daerah Candipuro, makin berkabut di daerah Piket Nol, dan baru berhenti setelah memasuki wilayah Ampelgading. Duduk sampai nggak rileks. Tahu kan di piket nol itu nggak ada penerangan padahal jalanannya ada di perut gunung. Kanan tebing, kiri jurang. Mata yang ngantuk pun nggak dirasa lagi.

Begitu sampai Ampelgading, kami berhenti di sebuah warung kopi yang masih buka. Waktu itu jam udah menunjukkan pukul 23.00 malam. Hujan tersisa rintik-rintik, bikin si Pimon rewel minta cepat pulang. Padahal ini hot chocolate masih umeb di gelas! (Should be called boiled chocolate instead of hot chocolate). Saat sedang nyruput minuman panas pelan-pelan, pandangan saya jatuh pada lukisan di dinding warung. Gambar seorang anak berambut kriwul yang sedang memegang gelas.  Image itu masih terbayang-bayang di kepala hingga sekarang. Cek aja di bawah, dan kalian akan mengerti kenapa.

Entah kenapa, lukisan ini berasa creepy, serem-serem gimanaaaa gitu. Padahal anak aslinya lucu banget. Ini lukisan icon warung kopi yang diambil dari figur putri si pemilik sendiri. Masalah jelas ada pada pelukisnya, menurut saya.

Kami baru touch down di kota Malang kisaran jam 01.00 dini hari, hari Minggu. Punggung dan pinggang rasanya mrotol jaya. Saya sendiri baru bisa tidur jam 02.00 setelah bersih-bersih rumah, ngegantiin diaper bapak, dan nyuci baju. Tidur malam itu benar-benar luar biasa rasanya. Kayak pingsan begitu nyentuh bantal. Tapi baruuuuu aja sedetik terlelap (atau rasanya seperti sedetik), ternyata pagi udah menjelang.

Maan ... belum juga ngimpi.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar