Jadi gini.
Saya pengen ke Coban Talun yang kondangnya luar biasa itu udah sejak kapan tahun. Ngerengek-rengek ke suami nggak pernah diturutin. Baru hari ini dia mau diajakin ke sana. Girang banget donk saya.
Sejak sebelum ke sana, saya sempat dua kali tanya teman. Berapa sih harga tiketnya? Mereka semua jawab harga tiket masuk Rp 10.000, tapi nanti kalau mau foto di spot-spot foto bayar lagi. OK.
Mungkin di sini salahnya kami ya. Saya terlalu overrated pernyataan di atas. Bayangan saya adalah : bayar tiket masuk Rp 10.000, dan kami akan dapat panorama taman yang rapi seperti layaknya tempat wisata alam. Lalu di seputar panorama tersebut, akan ada spot-spot selfie/foto yang untuk berfoto di dalamnya akan dikenakan biaya. Kalau bayangannya seperti ini, maka kami nggak merasa seperti dipaksa harus bayar ke semua spot. Karena toh sekedar duduk-duduk di bagian dalam area yang sudah tercover tiket Rp 10.000 itu pun udah oke. Tinggal nanti pilih mau nambah foto di spot selfie mana.
Jadi ibarat sekedar nambah topping di pilihan menu ramen. Bayar untuk ramennya, nambah bayar untuk toppingnya, yang kalau nggak nambah topping pun, ramennya masih bisa dinikmati apa adanya. Ngerti maksud saya sampai sini kan?
Jadi ibarat sekedar nambah topping di pilihan menu ramen. Bayar untuk ramennya, nambah bayar untuk toppingnya, yang kalau nggak nambah topping pun, ramennya masih bisa dinikmati apa adanya. Ngerti maksud saya sampai sini kan?
Ternyata salah besar Sodara-sodara.
Pergi ke sana sama sekali nggak seperti makan ramen dan nambah topping. Tapi seperti bayar untuk sekedar dapat tempat duduk, dan bayar lagi untuk ramennya, dan bayar lagi untuk toppingnya (yang harga topping sama besar dengan harga ramen).
Oke saya ngerti mahal murah itu relatif. Buat orang-orang di luar sana yang hidup berkelimpahan dan biasa pergi ke Jatim Park sekeluarga setiap dua minggu sekali, tiket Coban Talun ini nggak ada apa-apanya. Tapi buat saya, yang budget hidupnya harus diatur seketat mungkin, beneran nggak rela bayar segitu.
Adakah perasaan tertipu? Ya, kalau mau pakai istilah yang ekstrim, saya merasa 'tertipu'.
Pertama, karena ada banyak page wisata yang mengiklankan 'Coban Talun' dengan foto 'Pagupon Camp' (padahal untuk masuk Pagupon Camp harus bayar tiket yang berbeda. Sementara foto panorama si coban/air terjun sendiri nggak pernah diangkat).
Kedua, karena sesungguhnya tempat ini adalah sebuah komplek wisata. Masing-masing tempat ini adalah hidangan utama. Main course! Bukan topping!
Jadi SEHARUSNYA, loket di gerbang masuk dimundurkan jauh ke belakang, menuju ke arah air terjun. Karena yang disebut dengan 'tiket masuk Coban talun' adalah benar-benar tiket menuju ke coban/air terjun. Yang jaraknya cukup jauh dari parkiran, ditempuh dengan jalan kaki (seperti wisata air terjun pada umumnya). Itu baru fair!
Kalau loket tiket untuk air terjun diletakkan di depan gapura seperti sekarang, maka semua pengunjung yang nggak punya ketertarikan untuk jalan sehat ke air terjun dan hanya ingin berfoto di tempat wisata lain seperti yang diiklankan di page-page wisata seperti kami (saya sebut 'tempat wisata lain' alih-alih 'spot foto' karena kenyataannya area untuk tempat-tempat ini sangat luas, tersebar, dan punya boundary wilayah sendiri. Sehingga menyebutnya sebagai 'spot foto' sungguh mengecilkan artinya) akan TERPAKSA harus membayar dua kali (atau lebih).
Rp 10.000 per orang di gerbang masuk, lalu Rp 10.000 atau Rp 5.000 per orang lagi di tempat-tempat wisata lain (Pagupon Camp, OYOT, Rumah Terbalik, Apache Camp, dll).
Jadi kalau ditanya berapakah harga tiket masuk Coban Talun? Jawaban yang benar adalah : MULAI dari Rp 10.000, dan naik terus tergantung di mana kamu berdiri. Kalau maksudmu datang kemari adalah untuk berfoto di Pagupon Camp aja, maka harga tiketnya adalah Rp 20.000 per orang. Kalau mau ke Pagupon Camp dan OYOT, maka harganya Rp 25.000 per orang. Kalau ditambah lagi dengan Rumah Terbalik mungkin bisa sampai Rp 35.000 per orang. Kalau mau versi lengkap seluruh komplek, entah berapa lagi uang yang harus disediakan (saya nggak tanya detail keseluruhan harga tiket).
Lalu seandainya saya mau menikmati 'ramen apa adanya tanpa tambahan topping whatsoever', apa yang bisa didapat? Jujur, saya nggak bisa bilang. Karena sejak awal kami memang nggak ada niat mengunjungi air terjunnya. Yang bisa kami saksikan saat memasuki area depan hanyalah tempat parkir, deretan warung-warung, dan dereta toko-toko baju/souvenir. Plus lapangan rumput untuk berkemah dan menunggang kuda (bayar lagi Rp 10.000 buat kudanya). Padahal yang saya bayangkan adalah taman rapi, yang setidaknya menyediakan tempat duduk, dengan view yang bisa dilihat.
(Kalau kamu adalah pecandu jalan kaki jarak jauh, silahkan share pendapat kamu tentang pemandangan di seputar air terjunnya).
*parkiran*
*denah. yeah, paling nggak dengan bayar Rp 10.000/orang saya bisa lihat denah*
*kuda untuk ditunggangi*
*daftar komplek wisata*
*pemandangan ke arah gerbang masuk dari parkiran*
Benar-benar kalah jauh dari yang ditawarkan coban-coban lain.
Coban Bidadari adalah wisata air terjun di desa Gubukklakah yang menyediakan baaaaanyaak sekali spot selfie berlatar belakang perbukitan yang cantiknya mengalahkan bidadari beneran. Cukup bayar Rp 15.000 per orang, dapat all in dari air terjun sampai selfie sepuasnya.
Coban Cinde yang lokasinya begitu terpencil, bisa menata tamannya dengan sangat rapi dan cantik. Memisahkan area parkir dan tempat bersantai. Walau saat itu saya nggak menyambangi air terjunnya karena malas jalan kaki, tapi sama sekali nggak ada perasaan nggak ikhlas atas uang yang dibayarkan.
Tapi di sini?
Sumpah saya cemberut sepanjang waktu. Nggak lama juga waktu yang kami habiskan di sini. Mungkin kisaran 30 menit. Sebenarnya dari 10 menit pertama pun saya sudah pengen balik kanan. Mumpung masih 'kena' Rp 20.000 aja. Tapi anak saya minta foto-foto. Karena nggak mungkin saya foto dia dengan background barisan motor di parkiran, akhirnya terpaksa kami masuk ke Pagupon Camp.
Baguskah? Bagus. Indah. (Saya harus jujur donk, walau hati mendongkol). Kalau kamu punya banyak duit, bisa dapat foto-foto cantik di sini.
Baguskah? Bagus. Indah. (Saya harus jujur donk, walau hati mendongkol). Kalau kamu punya banyak duit, bisa dapat foto-foto cantik di sini.
Seolah penderitaan kami belum cukup, ada kisah nyebelin yang kembali terjadi.
Syahdan, kami melihat sebuah spot foto dengan kursi-kursi cantik yang kosong (setelah mengantri tentunya). Lalu kami pun beranjak ke sana. Anak saya sudah duduk di kursi. Saya dan suami berdiri, menyetel penempatan handphone di tongsis. Lalu tanpa badai tanpa aurora, datang segerombol ibu-ibu. Salah satu dari mereka bahkan berdiri tepat di samping saya dengan handphone di tangan.
Saya, yang merasa aneh dengan kelakuan tante-tante ini, menoleh padanya dengan pandangan "what the f*ck?". Lalu dengan santai si tante berkata "permisi ya" dengan memberi isyarat bahwa dia mau berfoto di tempat itu.
I was kind of freeze out. Bayangkan. Dia lihat sebuah spot foto dengan keluarga yang sudah lebih dulu berada di sana, sedang mengatur tongsis dan gaya. How STUPID could she be? How BLIND could she be? Gimana bisa dia berkata "permisi ya" dengan gaya mengusir kami agar dia dan gerombolannya bisa berfoto di sana???
Tentu aja saya langsung jawab "saya juga mau foto" dengan senyuman yang ibarat silet pasti bisa mencabik-cabik muka-foundation-terlalu-tebalnya. Lalu dia pun menjawab "oh" lalu duduk. Iya, duduk. Di kursi tepat di samping saya. Mencurigakan. Jangan-jangan dia terjangkit penyakit 'photobomb-wannabe' sehingga harus selalu berada di dalam bingkai foto orang-orang asing.
Kami pun mengatur angle tongsis agar hanya ada saya, suami, dan Pimon yang berada dalam frame.
Heran lihat kelakuan para pecinta selfie sekarang ini. Udah kayak orang mabok sampai nggak kenal sopan santun. Bolehlah kita ngomong the power of emak-emak, tapi tahu diri juga doooooonkk!!!
*inilah si kursi sengketa*
Lalu hujan pun datang. Si Pimon yang pasti histeris kalau kena air hujan mulai merengek minta pulang. Berhubung perasaan saya juga lagi nggak enak, akhirnya kami memutuskan untuk secepatnya minggat dari sana.
Untuk mengobati kekecewaan karena belum sempat duduk santai sambil makan roti bakar dan mangga potong yang dibawa dari rumah sebagai bekal piknik, kami pun berpindah ke bumi perkemahan Bedengan. Di sana, saya dan Pimon main di sungai dengan senyum yang lebih ikhlas dan perasaan yang lebih ringan. Sampai kilat dan guntur membuyarkan kesenangan kami.
*di Bedengan, Dau*
Sungguh sebuah pengalaman berharga untuk mengetahui bahwa price and value adalah dua hal yang berbeda.
Seng enek taman hydrangea ne kae yo ndk kne iki?
BalasHapus